Mampukah Pemilu Legislatif Pulihkan Demokrasi di Suriah?

Mampukah Pemilu Legislatif Pulihkan Demokrasi di Suriah?

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Minggu, 03 Agu 2025 14:47 WIB
Bendera Suriah (via DW)
Jakarta -

Pada pertengahan September mendatang, rakyat Suriah dijadwalkan untuk memilih parlemen baru – untuk pertama kalinya sejak tumbangnya rezim otoriter Bashar al-Assad.

Menurut informasi saat ini, parlemen baru akan terdiri dari 210 anggota, bertambah 60 kursi dibanding parlemen transisi yang dibentuk pada Maret tahun ini. Parlemen baru dirancang untuk menjalankan masa transisi selama tiga tahun, yang diakhiri dengan pengesahan konstitusi baru. Pengamat pemilihan umum internasional akan diizinkan hadir.

Wilayah-wilayah yang saat ini tidak berada di bawah kendali pemerintah – seperti kawasan yang dikuasai kelompok Kurdi dan provinsi Suwaida yang mayoritas penduduknya berasal dari komunitas Druze dan baru-baru ini dilanda kerusuhan – tetap akan mendapatkan alokasi kursi parlemen berdasarkan jumlah penduduk masing-masing, menurut kantor berita resmi Suriah SANA.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tantangan besar bagi pemerintah dan warga

Fakta bahwa pemilu bisa dilaksanakan di Suriah merupakan momen yang nyaris bersejarah, ujar Sarah Bassisseh, ilmuwan politik dan pakar Suriah dari Universitas Tbingen. "Negara ini sedang berada dalam fase transisi yang sulit. Namun fakta bahwa Suriah kini memiliki sistem pemilu baru memberikan harapan besar bagi banyak warga – meski mereka menyadari tantangan yang menyertai pemilu ini, khususnya hilangnya kepercayaan kelompok-kelompok agama dan etnis minoritas terhadap pemerintah," katanya.

Oleh karena itu, menurut Bassisseh, Ahmed al-Sharaa harus mampu meyakinkan setiap kelompok akan transparansi dan legitimasi proses pemilu.

ADVERTISEMENT

Pandangan serupa disampaikan pakar Timur Tengah lainnya, Birgit Schbler – sejarawan dan profesor di Universitas Erfurt, sekaligus mantan Direktur Institut Orient di Beirut hingga 2022. Dia mengingatkan pada praktik yang berlaku di bawah rezim Assad, di mana dua pertiga kursi parlemen secara otomatis diberikan kepada Partai Baath dan mitra koalisi. "Dengan demikian, mereka tidak pernah bisa kalah. Parlemen sangat terbatas perannya – lebih seperti klub debat yang hanya menyetujui keputusan presiden."

Warisan otoriter itu kini diklaim akan ditanggalkan. Sebanyak 140 anggota parlemen akan ditunjuk melalui proses demokratis oleh komite pemilu regional – meskipun rincian teknisnya masih belum jelas.

Namun, 70 kursi sisanya akan diisi langsung oleh Presiden transisi Ahmed al-Sharaa. Poin terakhir ini, serta pengaruh besar presiden dalam proses pemilu, menuai kritik di dalam negeri. Perkaranya, tidak semua warga dan kelompok masyarakat percaya bahwa al-Sharaa benar-benar telah meninggalkan gagasan kekhalifahan Islam dari masa lalunya.

Pertaruhan bagi keberagaman dan inklusi

Dalam pemerintahan transisi, kabinet Ahmed al-Sharaa diketahui lebih banyak "disusun oleh orang-orang terdekat," kata Bassisseh.

Memang, penunjukan seorang Kristen, Hind Kabawat, sebagai Menteri Sosial dianggap sebagai upaya menunjukkan keberagaman dan inklusivitas. "Namun banyak warga Suriah yang skeptis dan meyakini penunjukannya hanya bersifat simbolis – dan tidak lain untuk mengalihkan perhatian dari fakta bahwa pemerintahan tetap didominasi oleh lingkaran dalam al-Sharaa."

Karena itu pula, kata Bassisseh, "masih terbuka pertanyaan sejauh mana susunan parlemen nanti akan benar-benar beragam dan inklusif."

Skeptisisme juga muncul karena 140 anggota parlemen yang tersisa pun tidak dipilih secara langsung, melainkan ditetapkan oleh komite pemilu regional. Meski demikian, menurut Schbler, pertanyaan yang lebih besar adalah apakah pemilihan langsung secara logistik mungkin dilakukan mengingat infrastruktur negara yang hancur akibat perang.

Dia mencatat bahwa al-Sharaa tetap berpegang pada jadwal pemilu meskipun terjadi kekerasan baru-baru ini di wilayah Druze. "Dia sebenarnya bisa saja menunda. Fakta bahwa dia tidak melakukannya dapat dibaca sebagai sinyal positif."

Selain itu, al-Sharaa disebut berada di bawah tekanan baik secara nasional maupun internasional. "Pemerintah telah kehilangan banyak kepercayaan akibat kekerasan dalam beberapa waktu terakhir. Itu harus dia pulihkan," ujar Schbler.

Dalam konteks itu, pilihan al-Sharaa atas siapa yang akan mengisi 70 kursi yang ditunjuk langsung akan sangat menentukan. "Setiap kelompok masyarakat ingin merasa terwakili di parlemen," tandasnya.

Skeptisisme di kalangan minoritas

Menyusul gelombang kekerasan dalam beberapa pekan terakhir, belum jelas apakah - dan sejauh mana – kelompok minoritas agama dan etnis akan berpartisipasi dalam pemilu. Menurut Bassisseh, mereka kemungkinan akan berhati-hati. Beberapa kelompok, katanya, secara de facto tersisih dari kebijakan dan lembaga negara. Kekerasan baru-baru ini di wilayah yang dihuni komunitas Druze dan Alawi memperparah krisis kepercayaan.

"Hal ini dapat menyebabkan hambatan struktural bagi partisipasi nyata kelompok-kelompok tersebut, seperti kurangnya insentif, ketidakamanan, dan keterbatasan aksesibilitas – hanya untuk menyebut sebagian," kata dia.

Bassisseh pun meragukan bahwa akan tercipta partisipasi yang adil bagi semua kelompok etnis dan agama dalam pemilu. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan kurangnya kredibilitas keseluruhan proses pemilu, katanya, bisa menghambat partisipasi kelompok-kelompok minoritas.

Birgit Schbler bersikap lebih optimistis. Meski mengakui relasi antara pemerintah dan minoritas telah rusak, dia mencatat bahwa kelompok minoritas sendiri, termasuk komunitas Druze, juga terpecah secara politik.

Contohnya, pemimpin Druze Hikmat al-Hijri cenderung menolak dialog dengan pemerintah Suriah dan justru menjalin hubungan dekat dengan Israel, yang sebelumnya memberikan dukungan militer kepada komunitas Druze dalam konflik melawan kelompok Bedouin Sunni dan sebagian pasukan pemerintah.

"Namun saya kira kelompok al-Hijri tidak akan mendominasi," ujar Schbler. Dia tidak pula memperkirakan akan terjadinya boikot pemilu oleh kelompok Druze. "Tidak hanya di kalangan mereka, tetapi juga di antara minoritas lain, banyak yang ingin berperan dalam Suriah baru – asalkan pemerintah menghormati kepentingan mereka di tingkat regional dan lokal.

Simak juga Video 'AS Bantah Ikut Terlibat dalam Serangan Israel ke Suriah':

(haf/haf)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads