Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia mengkritik pemerintah yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). PSHK meminta DPR menolak Perppu Ciptaker tersebut.
Direktur Eksekutif PSHK Gita Putri awalnya mempertanyakan dasar penerbitan Perppu Ciptaker. Dia mengatakan pemerintah membuat alasan yang mengada-ada soal penerbitan Perppu ini.
"Menurut Pemerintah, kehadiran Perppu Ciptaker telah memenuhi syarat dibentuknya sebuah Perppu yakni adanya kebutuhan mendesak dan kekosongan hukum. Pernyataan ini tidak berdasar dan patut dipertanyakan logikanya, mengingat MK dalam Putusan 91/PUU-XVIII/2020 mensyaratkan UU Ciptaker untuk diulang proses pembentukannya dengan memerhatikan salah satunya mengenai partisipasi yang bermakna. Penerbitan Perppu adalah seperti siasat sehingga secara keseluruhan seolah mengkhianati amanah MK demi mengakali syarat partisipasi bermakna ini," kata Gita kepada wartawan, Sabtu (31/12/2022).
Dia mengatakan penerbitan Perppu Ciptaker merupakan bukti pemerintah tidak menjadikan publik sebagai mitra dalam penyusunan produk legislasi. Dia juga menuding penerbitan perppu itu menunjukkan pemerintah dalam posisi tidak seimbang dalam perencanaan, penyusunan dan pembahasan produk hukum.
"Terlihat bahwa ada perbedaan dalam pelibatan pihak-pihak terdampak dalam proses legislasi. Contohnya bisa dilihat dari penyusunan Omnibus Cipta Kerja di tahun 2019 hingga KUHP di tahun 2022. Hanya mereka yang memiliki kepentingan sama dengan Pemerintah yang mendapat karpet merah mendapat panggung untuk didengar. Namun kelompok buruh, kelompok disabilitas, kelompok minoritas agama, kelompok minoritas seksual, serta kelompok masyarakat rentan lainnya justru terdiskriminasi dengan tidak mendapat ruang dan pelibatan secara aktif dalam penyusunan produk hukum tersebut," ujarnya.
Gita juga menilai ada ketidakjelasan soal kedaruratan untuk membuat Perppu. Menurutnya, tak ada kekosongan hukum yang terjadi usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi UU Ciptaker.
"Justru mandat dari putusan MK untuk menyusun ulang UU Omnibus Cipta Kerja tersebut malah secara aktif diabaikan oleh Pemerintah dengan keluarnya Perppu ini. Argumentasi kepentingan ekonomi dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja ini juga memberikan kode yang membingungkan bagi publik. Apabila ada kebutuhan pengencangan anggaran karena potensi ekonomi yang memburuk, mengapa justru ada pengeluaran uang dengan skala masif, misalnya untuk membangun IKN dan memaksakan pembentukan UU IKN," ujarnya.
Dia menganggap pemerintah abai terhadap partisipasi publik. Dia juga menuding Perppu Ciptaker sebagai wujud ruang gelap legislasi karena dokumen Perppu Ciptaker belum dipublikasi.
"Di samping banyaknya pertanyaan dan polemik yang ditimbulkan dari penerbitan Perppu Ciptaker, celakanya sampai dengan rilis ini disusun dokumen Perppu Ciptaker belum dapat diakses. Hal itu menguatkan kesan bahwa Pemerintah semakin menarik proses pembentukan peraturan perundang-undangan ke ruang gelap. Padahal prinsip transparansi adalah prasyarat terbukanya ruang partisipasi yang bermakna," ujarnya.
Gita pun meminta DPR menolak Perppu Cipta Kerja itu karena telah mengabaikan putusan MK. Berikut tiga poin tuntutan PSHK terkait Perppu Ciptaker:
1. DPR untuk menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja karena telah mengabaikan Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020;
2. Presiden dan DPR harus melakukan pembahasan kembali UU Ciptaker sebagaimana amanat UU MK 91/PUU-XVIII/2020 dengan menghadirkan ruang partisipasi masyarakat yang bermakna dalam prosesnya; dan
3. Presiden dan DPR untuk menghentikan praktik ugal-ugalan dalam proses legislasi dan kembali pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.