Didit Alnur Pramudita bersama 9 temannya menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dengan harapan hakim memerintahkan pemerintah membuka keran ekspor benur. Apa motivasi para nelayan itu?
"Faktor ekonomi saja," kata Didit memberikan alasan menangkap benur kepada wartawan, Kamis (15/12/2022).
Didit pernah ditahan pada 2020 dan dihukum 2 tahun penjara terkait penangkapan benur di Banten. Didit terlahir dari keluarga nelayan, Ayah Didit meski PNS, tetapi nyambi sebagai nelayan. Paman dan kakek Didit juga nelayan.
Didit dan nelayan lainnya dalam menangkap benur cukup menaruh alat sejenis jala ukuran kecil yang di atasnya diberi lampu dengan baterai. Alat dari bekas karung semen itu diletakkan laut pada sore. Benur di malam hari lalu mengerubungi lampu karena tertarik dengan cahaya terang. Setelah pagi, para nelayan mengambil alat itu dan mengumpulkan benur itu.
"Jadi menangkap benur tidak merusak lingkungan," tutur Didit.
Karena lampu kecil sebagai 'umpan', maka apabila bulan purnama, nelayan tidak menyebar perangkap benur.
"Kalau purnama benur semua berenang ke permukaan. Makanya kalau malam purnama, permukaan laut itu kerlap-kerlip kayak ada lampu mantul. Itu benur," ucap Didit.
Pada 2013, para nelayan menangkap benur dengan bebas. Satu ekor benur dijual Rp 5 ribu-Rp 10 ribu ke pengepul. Satu pengepul bisa mendapatkan untung Rp 300 ribuan-Rp 1juta /hari. Akhirnya, ekonomi masyarakat nelayan terangkat. Mereka bisa membangun rumah secara permanen dan sehat. Meski rumah sederhana, tetapi lebih baik dibanding rumah papan atau rumah bilik bambu.
"Teman-teman saya ada yang bisa menyekolahkan anaknya sampai kuliah," kisah Didit.
Setelah kebijakan larangan ekspor lobster, para nelayan bertahan hidup dengan menjual barang yang ada di rumah. Hingga akhirnya para nelayan tidak kuat dan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta.
"Barang ini diambil di laut dan bukan mencuri. Kalau dibilang, kharam? Nggak. Bukan mencuri," tutur Didit.
Didit mengakui pengalaman dirinya dipenjara karena menangkap benur membuat para nelayan takut.
"Harapannya nyaman dan ekonomi pulih kembali. Setidaknya anak-anak bisa sekolah," kata Didit.
Selain Didit Alnur Pramudita, ikut pula menggugat Madroji Siswanto, Toton Sopyan, Ipik Taupik, Yayat Hidayat, Masriya, Samsul Rizal, Suhri Jalu, Arjani, dan Bambang Handoko.
"Bang Jalu itu tidak sekolah. Cuma bisa baca tulis saja. Anaknya bisa sampai SMA," kisah Didit.
Gugatan itu masih berlangsung di PTUN Jakarta. Berikut petitum yang diajukan nelayan:
1. Menyatakan Tindakan Pemerintahan Berupa Perbuatan Tidak Bertindak (Omission) Presiden Republik Indonesia yang tidak menerbitkan peraturan pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh ketentuan Pasal 16 ayat (2) UU Perikanan merupakan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
2. Menyatakan batal atau tidak sah Tindakan Pemerintahan Berupa Perbuatan Tidak Bertindak (Omission) Presiden Republik Indonesia yang tidak menerbitkan peraturan pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh ketentuan Pasal 16 ayat (2) UU Perikanan, merupakan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
3. Mewajibkan Tergugat untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh ketentuan Pasal 16 ayat (2) UU Perikanan
4. Mewajibkan Tergugat untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh ketentuan Pasal 16 ayat (2) UU Perikanan.
Jawaban Pemerintah
Pemerintah menyatakan pihaknya tidak melakukan perbuatan melanggar hukum di kasus tersebut. Oleh sebab itu, presiden yang memberikan kuasa kepada jaksa meminta gugatan itu keliru dan patut ditolak.
"Asas hak asasi manusia dan asas legalitas tidak ada relevansi dalam penilaian objek sengketa a quo sebagaimana diamanatkan Pasal 10 ayat 1 dan 2 UU 30/2004. Maka penilaian terhadap objek sengketa menggunakan asas hak asasi manusia dan asas legalitas patut ditolak," ucap pemerintah.
Dalam persidangan yang sama, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menilai gugatan itu prematur. Seharusnya, nelayan mengajukan notifikasi terlebih dahulu.
"Hal ini berlaku ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa administrasi pemerintahan setelah menempuh upaya administratif. Para penggugat sama sekali belum mengajukan upaya administratif kepada Para Tergugat. Sehingga beralasan bagi majelis hakim pada perkara a quo untuk menyatakan gugatan Para Penggugat Premature," kata KKP.
Simak juga 'Kala KKP Gagalkan Penyelundupan Benih Lobster Senilai Rp 30 M ke Singapura':