Ratusan Nelayan Dukung Gugatan ke PTUN soal Ekspor Benur Lobster

ADVERTISEMENT

Ratusan Nelayan Dukung Gugatan ke PTUN soal Ekspor Benur Lobster

Andi Saputra - detikNews
Kamis, 10 Nov 2022 17:03 WIB
Pengacara Happy Hayati Helmi
Pengacara Happy Hayati Helmi (dok. detikcom)
Jakarta -

Ratusan nelayan mendukung gugatan agar ekspor benur lobster diizinkan. Proses gugatan itu kini masih berlangsung di PTUN Jakarta.

"Dukungan tertulis itu disampaikan ke asosiasi mendukung temannya mengajukan gugatan itu," kata kuasa hukum nelayan, Happy Hayati Helmi, kepada wartawan, Kamis (10/11/2022).

Adapun penggugat yang maju adalah Didit Alnur Pramudita, Madroji Siswanto, Toton Sopyan, Ipik Taupik, Yayat Hidayat, Masriya, Samsul Rizal, Suhri Jalu, Arjani, dan Bambang Handoko. Meski tidak masuk berkas gugatan, ratusan nelayan memberikan dukungan tertulis agar kasus itu menang. Jumlah dukungan ini masih terus bertambah.

"Ini memang serius, kami meminta untuk diberi kepastian hukum dalam bidang benur lobster," kata Happy.

Happy berharap para nelayan bersatu mendukung gugatan itu. Saat ini pernyataan dukungan tertulis dikirimkan dari nelayan di pesisir selatan Jawa, seperti dari Lebak, Bayah, dan Sukabumi.

"Kalau perlu dari seluruh Indonesia," ucap Happy.

Happy menilai larangan ekspor lobster membuat ratusan nelayan ketakutan. Apalagi mereka melihat di berbagai berita teman-temannya ditangkap dan diproses hukum karena menangkap dan menjual benur lobster.

"Mereka melihat dari berita, nelayan ditangkap. Takut. Ketakutan ini menjadi kata kunci. Peraturan Menteri memberikan ketakutan kepada masyarakat," kata Happy.

Oleh sebab itu, para nelayan meminta kepastian hukum atas hak asasi dalam mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

"Kami mesti bagaimana lagi ini. Boleh beraktivitas atau tidak? Mengapa pemerintah diam?" beber Happy.

Oleh sebab itu, para nelayan miskin mengajukan petitum:

1. Menyatakan Tindakan Pemerintahan Berupa Perbuatan Tidak Bertindak (Omission) Presiden Republik Indonesia yang tidak menerbitkan peraturan pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh ketentuan Pasal 16 ayat (2) UU Perikanan merupakan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
2. Menyatakan batal atau tidak sah Tindakan Pemerintahan Berupa Perbuatan Tidak Bertindak (Omission) Presiden Republik Indonesia yang tidak menerbitkan peraturan pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh ketentuan Pasal 16 ayat (2) UU Perikanan, merupakan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
3. Mewajibkan Tergugat untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh ketentuan Pasal 16 ayat (2) UU Perikanan
4. Mewajibkan Tergugat untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh ketentuan Pasal 16 ayat (2) UU Perikanan.

Jawaban Pemerintah

Pemerintah menyatakan pihaknya tidak melakukan perbuatan melanggar hukum di kasus tersebut. Oleh sebab itu, presiden yang memberikan kuasa kepada jaksa meminta gugatan itu keliru dan patut ditolak.

"Asas hak asasi manusia dan asas legalitas tidak ada relevansi dalam penilaian objek sengketa a quo sebagaimana diamanatkan Pasal 10 ayat 1 dan 2 UU 30/2004. Maka penilaian terhadap objek sengketa menggunakan asas hak asasi manusia dan asas legalitas patut ditolak," ucap pemerintah.

Dalam persidangan yang sama, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menilai gugatan itu prematur. Seharusnya, nelayan mengajukan notifikasi terlebih dahulu.

"Hal ini berlaku ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa administrasi pemerintahan setelah menempuh upaya administratif. Para penggugat sama sekali belum mengajukan upaya administratif kepada Para Tergugat. Sehingga beralasan bagi majelis hakim pada perkara a quo untuk menyatakan gugatan Para Penggugat Premature," kata KKP.

(asp/mae)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT