Formappi Tanya Keseriusan DPR Sahkan KUHP: Kenapa Cuma 18 Orang Hadir Fisik?

Formappi Tanya Keseriusan DPR Sahkan KUHP: Kenapa Cuma 18 Orang Hadir Fisik?

Lisye Sri Rahayu - detikNews
Rabu, 07 Des 2022 05:14 WIB
Peneliti Formappi Lucius Karus.
Foto: Lucius Karus. (Dok. detikcom)
Jakarta -

DPR telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyoroti jumlah anggota dewan yang hadir secara langsung pada paripurna pengesahan KUHP baru itu hanya 18 orang.

"Soal keseriusan DPR akan pentingnya RKUHP sendiri layak dipertanyakan. Kalau mereka menganggap penting, kenapa hanya 18 orang di ruangan rapat paripurna pengesahan RKUHP? Apakah banyaknya anggota yang tidak hadir justru membuka kedok jika DPR sendiri sesungguhnya main-main saja dengan RKUHP ini?" kata peneliti Formappi Lucius Karus kepada wartawan, Selasa (6/12/2022).

"Karena tahu ini cuman main-main dan banyak memunculkan kritikan maka banyak anggota mangkir agar tak ikut dibebankan tanggung jawab. Apalagi menjelang tahun politik, salah-salah ambil posisi politik di DPR, bisa-bisa modal buruk untuk menang di 2024," imbuhnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lucius kemudian mengapresiasi keberanian DPR dan Pemerintah mengesahkan KUHP baru ini di tengah adanya penolakan. Lucius menyebut RKUHP ini bisa menjadi tambahan pundi-pundi RUU prolegnas yang disahkan DPR.

"Ya minimal ada akhir jelas dari sebuah proses panjang pembahasan RKUHP yang bahkan telah melintasi beberapa periode DPR. Dan juga dengan pengesahan ini, DPR mungkin punya kepentingan menambah pundi-pundi RUU Prolegnas yang disahkan. Karena dari 254 RUU Prolegnas 2020-2024, baru 18 di antaranya yang sudah disahkan sebelum RKUHP ini. Jadi total dengan RKUHP, menurut hitungan Formappi baru 19 RUU Prolegnas yang disahkan DPR selama 3 tahun mereka bekerja di periode ini. Mungkin sanking minimnya produk legislasi, ya RKUHP mesti disahkan agar pundi-pundi bertambah," katanya.

ADVERTISEMENT

Formappi, kata Lucius, menyayangkan sejumlah pasal yang dikritik publik tapi tidak berubah secara mendasar dalam KUHP baru. Terlebih, pasal itu berkaitan dengan kebebasan berpendapat.

"Persoalan RKUHP pada pasal terkait kebebasan adalah persoalan serius karena menyangkut sikap negara atas praktik berdemokrasi yang dipilih sebagai sistem pemerintahan kita. Kalau menyebut diri negara demokrasi ya mestinya pengaturan soal kebebasan itu harus menjadi perhatian utama. Sementara RKUHP yang baru ini nampak menjadi ancaman bagi penggunaan kebebasan yang menjadi prinsip dasar demokrasi," kata Lucius.

Lucius menambahkan bahwa pasal penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara bisa berpotensi mengekang kebebasan publik dalam menyampaikan kritik. Menurutnya, adanya pasal itu membuat masyarakat untuk mikir-mikir sebelum menyampaikan kritik kepada pemerintah.

"Kalau mau kritik mesti pikir-pikir dulu agar tak dianggap menghina. Tetapi walau sudah mikir-mikir kritik yang benar-benar kritik saja untuk orang yang dikritik bisa dianggap menghina kan? Ketaktegasan pengaturan seperti ini berpotensi disalahgunakan. Padahal Presiden dan lembaga negara memang menjadi sasaran kritikan karena mereka dipilih untuk menjalankan pemerintahan melalui kebijakan mereka," tutur dia.

"Kan mestinya sesederhana itu urusan masyarakat mengkritik pasal penghinaan ini. Sementara kita tahu betul bahwa kebutuhan penguasa ya yang paling utama memastikan kekuasaannya tak terganggu. Dan agar tak terganggu mereka menggunakan instrumen legislasi untuk melindungi diri," imbuhnya.

Selengkapnya pada halaman berikut.

Simak Video 'Pengesahan RKUHP yang Diwarnai Interupsi dan Aksi Protes':

[Gambas:Video 20detik]




Lucius kemudian menyinggung soal negara demokrasi. Menurutnya, kekuasaan yang tidak ramah dengan kritik bukanlah gaya sebuah negara demokrasi.

"RKUHP dengan pasal penghinaan ini nampak sebagai upaya kekuasaan melindungi diri dari kritikan publik, walau mereka memolesnya menggunakan kata penghinaan. Kecenderungan kekuasaan yang tak ramah dengan kritik bukanlah gaya negara demokrasi. Ini yang mengkhawatirkan tentunya," tuturnya.

Lebih lanjut, Lucius juga menyinggung soal masyarakat yang tidak puas dengan pasal dalam KUHP ini bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Lucius memberikan kritikan keras mengenai hal ini.

"Kalau produk yang dihasilkan DPR akhirnya berujung ke Mahkamah Konstitusi itu artinya ada persoalan serius terkait proses dan substansi pembahasan legislasi kita. Kalau akhirnya MK yang diminta memutuskan, ya ngapain sih DPR perlu waktu lama bikin UU. Mending mereka cukup bikin draf aja, lalu ketok untuk mengesahkan. Setelah itu urusan MK yang menguji," katanya.

Menurut Lucius, seharusnya sebagai lembaga pembentuk UU, DPR harus bisa menghasilkan produk UU yang tak perlu diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi.

"Ini kan kacau cara berpikirnya kalau pembuatan legislasi di DPR diakhiri dengan pernyataan 'kalau nggak puas gugat aja ke MK'. Kenapa nggak sekalian aja 'Kalau nggak puas dengan kerja pembentukan legislasi DPR, serahkan saja ke MK, nggak usah DPR lagi'" imbuhnya.

Halaman 3 dari 2
(lir/knv)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads