Mahkamah Agung (MA) tidak menerima judicial review nelayan soal larangan ekspor benih lobster. Larangan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Di sisi lain, nelayan sedang menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait hal serupa.
"Permohonan keberatan HUM tidak dapat diterima," demikian lansir website MA, Jumat (11/11/2022).
Putusan Nomor 49 P/HUM/2022 diadili oleh ketua majelis Irfan Fachruddin. Sedangkan anggota majelis Yosran dan Is Sudaryono. Adapun panitera pengganti adalah Febby Fajrurrahman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagaimana diketahui, kelima nelayan yang melakukan judicial review itu adalah Ibrohim, Dian Hardiansyah, Lana Wijaya, Yoda Rexi Rinaldi, dan Randy Zanu Wulandi. Larangan itu muncul dalam Peraturan Menteri Kelautan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Para Pemohon menguji ketentuan Pasal Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan:
Penangkapan Benih Bening Lobster (puerulus) hanya dapat dilakukan untuk Pembudidayaan di wilayah negara Republik Indonesia
dan Pasal 18 ayat (1) yang menyatakan:
Setiap Orang dilarang melakukan pengeluaran Benih Bening Lobster (puerulus) ke luar wilayah negara Republik Indonesia
Pasal 18 ayat (2) yang menyatakan:
Setiap Orang dilarang menangkap Benih Bening Lobster (puerulus) yang tidak sesuai peruntukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Pasal 19 ayat (1), yang menyatakan:
Setiap Orang yang melakukan pengeluaran Benih Bening Lobster (puerulus) ke luar wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Diterbitkannya Permen KP No 17 Tahun 2021 membuat para pemohon sejak diterbitkan hingga saat ini mengakibatkan kehilangan mata pencarian untuk memenuhi kebutuhan hidup," kata kuasa hukum pemohon, Viktor Santoso Tandiasa.
POTENSI EKONOMI BENUR LOBSTER
Nah, berdasarkan hasil Badan Riset dan SDM Kelautan dan Perikanan yang dikutip detikcom, satu induk lobster betina bertelur yang tidak ditangkap dapat menghasilkan sekitar 36 kg lobster (bobot rata-rata 200 g) untuk sekali pemijahan dalam setahun.
"Dengan demikian, dari 1.700 ton induk lobster yang sedang bertelur tidak ditangkap oleh nelayan setara dengan 3,4 x 106 ekor induk (1.700x1.000.000/500 g)," demikian laporan yang dilansir pada 2019 itu.
Dari induk-induk lobster betina tersebut dapat dihasilkan sekitar 122.400 ton lobster (3.400.000 x 36 kg). Analisis ini memberikan estimasi terjadinya peningkatan nilai jual potensi produksi lobster sebesar 18 kali dari 2,42 triliun (6.207x1.000x30x13.000) menjadi 38,189 triliun dengan JTB 80% (122.400x0,8x1.000x30 x13.000) (harga 1 kg lobster = 30 US$ dan 1 US$ = Rp. 13.000).
"Secara individu, dengan menangkap 1 ekor lobster yang sedang bertelur, dapat merugikan potensi produksi sekitar 36 kg atau seharga sekitar Rp 14 juta rupiah (36x30x13.000)," urai laporan Pusat Riset Perikanan itu.
Dari segi benih lobster dihasilkan sekitar 1,7 x 1012 ekor (3,4 juta x 500.000). Bila 50 % benih dibiarkan di alam maka yang dapat diambil benihnya sekitar 425 miliar benih per tahun (0,25 x 1,7 x 1012). Bila 25 % benih atau 425 miliar benih menjadi lobster dewasa akan dihasilkan sekitar 153 juta lobster dewasa atau induk ukuran 200 gram (0,00036x425 miliar) atau 30,600 ton (153.000.000x200/1.000.000).
"Jadi dengan tidak menangkap lobster betina yang sedang bertelur dapat meningkatkan potensi stok menjadi 4 kali (30.600/7.759)," bebernya.
"Benih lobster sebesar 425 miliar dapat dijual dibudidayakan untuk menghasilkan lobster dengan ukuran yang diperbolehkan dengan bobot 200 gram, kecuali lobster pasir sebesar 150 gram," tegasnya.
Dari riset itu ditemukan kesimpulan pengelolaan sumber daya lobster (Panulirus spp.), kepiting (Scylla spp.) dan rajungan (Portunus spp.) melalui pembatasan penangkapan pada ukuran tertentu dan sumber daya yang bertelur secara jangka pendek dapat berdampak terhadap penurunan produksi ketiga sumber daya tersebut.
"Namun, dengan melakukan pengelolaan ketiga sumber daya tersebut seperti diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.1/Permen-KP/2015, yaitu dengan memberikan kesempatan ketiga jenis sumber daya tersebut untuk melakukan pemijahan dengan cara tidak menangkap lobster, kepiting dan rajungan dengan ukuran masing-masing < 8 cm (panjang karapas), < 10 cm (lebar karapas) dan < 12 cm (lebar karapas) dan yang sedang dalam kondisi bertelur, kondisi populasi sumber daya dapat segera pulih dalam waktu satu kali siklus pemijahan dengan kondisi perairan yang tidak mendapat tekanan pencemaran dan perubahan cuaca ekstrim," urainya.
Pengelolaan yang dilakukan ini akan berdampak positif terhadap peningkatan potensi stok lobster lebih dari 4 kali dari potensi stok lobster yang ada saat ini dari 7.759 ton menjadi 30.600 ton. Dengan memanfaatkan benih lobster untuk dibudidayakan yang dapat menghasilkan nilai lobster sangat signifikan.
"Pemanfaatan kepiting sebagai kepiting soka (soft shell) sebaiknya diambil dari usaha perbenihan (hatchery)," urainya.
Sebaliknya secara individu, penangkapan satu ekor lobster yang dalam kondisi bertelur, berpotensi menurunkan potensi stok lobster sebanyak 36 kg atau seharga sekitar Rp 14 juta.
"Sementara, penangkapan satu ekor kepiting dan satu ekor rajungan yang dalam kondisi bertelur berpotensi menurunkan stok kepiting dan rajungan masing-masing sebanyak 60 kg atau seharga 9,6 juta rupiah dan 222 kg atau seharga Rp 15,5 juta," bebernya.
Simak juga 'KKP Gagalkan Penyelundupan Benih Lobster Senilai Rp 30 M ke Singapura':