Penghasilan Tidak Kena Pajak Karyawan Vs UMKM, Adilkah?

ADVERTISEMENT

detik's Advocate

Penghasilan Tidak Kena Pajak Karyawan Vs UMKM, Adilkah?

Tim detikcom - detikNews
Jumat, 21 Okt 2022 13:34 WIB
Ilustrasi pajak
Ilustrasi (Getty Images/iStockphoto/gesrey)
Jakarta -

Wajib pajak orang pribadi (WP OP) dalam negeri dapat menikmati fasilitas khusus berupa pengurang penghasilan yang dikenal dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam menghitung Pajak Penghasilan (PPh) nya. WP OP karyawan dengan status TK/0 ( tidak kawin tanpa tanggungan) dapat menikmati PTKP sebesar Rp4,5 juta dalam satu bulan.

Untuk WP OP yang menjalankan usaha dengan peredaran bruto tertentu, berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), berhak mendapatkan PTKP sebesar 500 juta rupiah setahun. Peredaran bruto tertentu yang dimaksud di sini adalah peredaran bruto yang tidak melebihi 4,8 miliar rupiah setahun. Direktorat Jenderal Pajak dalam kampanye nya sering menyebut kelompok WP OP ini sebagai WP OP UMKM. Padahal istilah UMKM tidak digunakan sebagai redaksional dalam aturan terkait. Tarif PPh final 0,5% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 (PP 23/2018) akan dikenakan atas omzet bruto di atas 500 juta rupiah setahun.

Secara nominal, perbandingan kedua PTKP di atas nampak jomplang. Nilai PTKP WP OP karyawan jauh di bawah PTKP WP OP pengusaha dengan peredaran bruto tertentu. Aspek keadilan bagi WP OP karyawan kemudian dipertanyakan.

Tax Base
Untuk menyelisik keadilan di balik kebijakan ini terlebih dahulu harus kita pahami dasar pengenaan PPh di antara kedua nya. PPh atas WP OP karyawan dikenakan atas penghasilan bersih berupa gaji dikurangi dengan biaya jabatan dan PTKP.

Sedangkan PPh atas WP OP pengusaha dikenakan atas peredaran bruto, tanpa memperhitungkan biaya-biaya yang telah dikeluarkan. Akibatnya, bagaimana pun kondisi usaha WP, baik untung maupun rugi, tetap ada pajak yang dibayarkan.

Sebagai perbandingan, WP OP pengusaha dengan omzet di bawah 4,8 miliar rupiah yang memilih menghitung PPh nya dengan tarif pasal 17 UU PPh, dapat tidak menyelenggarakan pembukuan, namun tetap menyelenggarakan pencatatan. Untuk mendapatkan nilai penghasilan neto, pengusaha ini akan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ./2015.

Jika kita mengambil contoh usaha budi daya lebah di Sumbawa dengan besaran NPPN 10%, maka atas peredaran bruto 500 juta rupiah akan didapat penghasilan neto 50 juta setahun, atau sekitar 4,2 juta satu bulan. Nilai ini menjadi tidak jauh berbeda dengan penghasilan neto yang menjadi PTKP bagi WP OP karyawan.

WP OP karyawan juga masih memiliki ruang perluasan PTKP sesuai dengan status dan jumlah tanggungan keluarga. PTKP WP OP karyawan berada pada rentang 4,5 juta rupiah sampai dengan 10,5 juta rupiah sebulan. Tidak demikian dengan WP OP pengusaha dengan peredaran bruto tertentu yang menghitung PPh nya dengan tarif final 0,5%.

Jika hanya dilihat dari nilai nominal, maka penetapan PTKP WP OP karyawan dan WP OP pengusaha dengan peredaran bruto tertentu nampak telah mencederai keadilan horisontal.Dian Anggraeni

Multiplier effect
Banyak negara memanfaatkan pandemi sebagai momentum reformasi perpajakan (Navarro, 2021). Salah satu aspek dari tren reformasi global adalah sistem perpajakan yang ramah terhadap dunia usaha (Darussalam, 2022). Reformasi administrasi pajak melalui UU HPP sejalan dengan tren ini.

Batasan PTKP untuk WP OP pengusaha dengan peredaran tertentu dalam UU HPP merupakan wujud dukungan pemerintah terhadap pengusaha kecil. Pemerintah menyadari bahwa UMKM merupakan tulang punggung perekonomian negara dengan sumbangan yang cukup signifikan terhadap Produk Domestik Bruto, penyerapan tenaga kerja dan kontribusi nilai ekspor. Dukungan yang diberikan kepada sektor ini akan menghasilkan multiplier effect yang menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi. Insentif yang sifatnya permanen ini diperlukan untuk mencegah terjadinya penutupan usaha apalagi di masa pandemi dan pascapandemi. Hukum pajak harus menyelaraskan dan mendukung kerangka kebijakan dan tujuan eknomi. Pemerintah telah menunjukkan dukungannya melalui prinsip "relaksasi dahulu, mobilisasi kemudian" ( Darussalam, 2022).

Tax Compliance Cost
Terdapat tiga area opportunity cost menurut Tran-Nam et al. (2000) yang ada pada tax compliance cost , yaitu: 1. waktu yang dipergunakan oleh wajib pajak; 2. pembayaran kepada konsultan pajak; dan 3. biaya di luar tenaga kerja. Tax compliance cost ini relatif lebih membebani WP OP yang menjalankan usaha dibandingkan dengan WP OP karyawan. Witholding system yang memberikan tanggung jawab pemotongan PPh pasal 21 karyawan kepada pemberi kerja telah memangkas sebagian kewajiban perpajakan WP OP karyawan.

Peragine (2004) membagi prinsip keadilan dalam sistem perpajakan menjadi dua kelompok, yaitu keadilan horisontal dan keadilan vertikal.

Keadilan horisontal diasosiasikan dengan persamaan perlakuan bagi orang yang memiliki kesamaan karakteristik. Artinya, beban pajak yang sama harusnya dikenakan pada orang dengan kondisi yang sama. Jika hanya dilihat dari nilai nominal, maka penetapan PTKP WP OP karyawan dan WP OP pengusaha dengan peredaran bruto tertentu nampak telah mencederai keadilan horisontal. Namun uraian di atas menjawab dugaan tersebut.

Dian AggrainiDian Anggraini (dok.pri)


Dian Anggraeni
Penyuluh Pajak Ahli Madya
Ditjen Pajak Kemenkeu



ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT