Kerajinan tenun ikat di Kepulauan Tanimbar, Maluku tak semata-mata menjadi mata pencaharian. Namun juga sudah menjadi tradisi yang diwariskan turun temurun, termasuk ke anak SD (sekolah dasar) di Desa Kandar, Kecamatan Selaru.
Di Selaru, alat tenun bisa ditemui dengan mudah di teras-teras rumah warga. Ada ibu-ibu yang mengerjakan tenun secara berkelompok dalam perkumpulan dasawisma, atau mereka yang menenun bersama keluarga lintas generasi. Keterampilan tenun seolah menjadi bakat alam yang dimiliki oleh masyarakat, terutama perempuan di Selaru, bahkan pada anak SD sekalipun.
Maklum saja akses internet yang belum memadai, membuat aktivitas mayoritas anak-anak di Kecamatan Selaru lebih banyak dilakukan dengan bermain atau membantu keluarga mengerjakan tenun, sehingga jauh dari perangkat canggih atau gadget.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat berkunjung ke Desa Kandar, tim detikcom bertemu dengan Elin, siswa kelas 6 SD yang sudah terampil menenun. Perempuan berusia 11 tahun ini mengaku sudah belajar menenun sejak dirinya masih berada di bangku kelas 3 SD.
"Nggak diajarin, lihat mama biasa bikin tenun. Nggak susah (belajarnya)," ungkap Elin menceritakan bagaimana dirinya bisa menenun.
Elin mengatakan sejak awal mencoba, dirinya langsung bisa membuat kain tenun ikat cantik untuk membantu ibunya di rumah. Biasanya, ia akan membuat tenun sepulang dari sekolah. Saat ditanya apakah dirinya ingin melanjutkan tradisi ini, Elin dengan mantap menjawab mau meneruskan tradisi dan usaha tenun saat dewasa nanti.
Ia mengatakan di desanya, anak seumur Elin biasa mengambil benang-benang sisa untuk belajar menenun. Sehingga tak sedikit pula anak SD di sana yang sudah lihai membuat wastra cantik asal Tanimbar ini.
![]() |
Sementara itu di Desa Fursuy, seorang ibu muda bernama Fera Lingansera mengaku dirinya juga sudah mulai aktif menenun sejak masih di bangku SMP.
"Tidak diajar, langsung lihat saja. Misalnya, saya lihat ibu saya tenun. Dalam diri saya ada keinginan untuk ingin tahu tenun, lalu kebiasaan itu muncul dalam diri saya dan saat coba saya sudah tahu (cara) tenun. Karena keinginan, bukan dipaksa jadi kita bisa tahu tenun," ujar Fera.
Menurut Fera, tenun merupakan tradisi yang tidak bisa dihilangkan karena telah melekat dari para nenek moyang hingga anak-cucu saat ini. Untuk itu, tenun di desanya tidak hanya ditekuni oleh ibu-ibu saja. Tapi anak-anak usia SD-SMP pun sudah mulai mahir menenun.
Dari bakat alam yang diwarisi turun temurun itu, Fera bisa menyambung hidup bahkan bantu menafkahi keluarga. Ia pun aktif memberdayakan ibu-ibu sekitar lewat kelompok dasawisma di desanya agar tak hanya mengandalkan suami untuk memberi nafkah, tapi juga bisa mendapat penghasilan dari kain tenun.
![]() |
Fera mengaku biasa menjual satu lembar kain tenun dengan harga Rp 500.000. Dalam satu bulan, ia bisa mengirim 5-10 lembar kain untuk dititip jual pada sebuah toko di Saumlaki. Salah satunya Toko Glora milik Fin Watutamata.
Ia mengaku sistem titip jual ini sangat membantunya dalam hal pemasaran. Apalagi hasilnya bisa langsung ia terima berkat kemudahan transaksi online dari aplikasi BRImo yang ia gunakan.
"Kalau kain sudah laku, Bu Fin tinggal bikin pemberitahuan lewat WA jadi saya tahu kain sudah laku. Nanti saya tinggal telepon kalau kainnya sudah laku, nanti uang bisa ditransfer saja ke rekening saya biasanya. Tidak perlu lagi lewat orang lain untuk ambil uang, kadang kalau melalui orang ada biayanya lagi," kata Fera.
"Untuk transfer pakai rekening BRI, jadi lewat aplikasi BRImo. Lewat ini juga saya bisa bantu orang untuk kirim uang atau beli pulsa," sambungnya.
detikcom bersama BRI mengadakan program Tapal Batas yang mengulas perkembangan ekonomi, infrastruktur, hingga wisata di beberapa wilayah terdepan Indonesia. Untuk mengetahui informasi dari program ini ikuti terus berita tentang Tapal Batas di tapalbatas.detik.com.
(prf/ega)