Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Prof Drajat Martianto menyebut 50 persen masyarakat Indonesia mengalami kelaparan tersembunyi. Hal itu terjadi karena Indonesia sedang menghadapi tiga masalah gizi, yakni gizi kurang, obesitas dan kurang gizi mikro.
Menyoroti hal ini, Anggota DPR RI Dedi Mulyadi menilai pergeseran pola tradisi menjadi salah satu faktor penyebab kelaparan tersembunyi di Indonesia terjadi. Pasalnya, saat ini masyarakat kerap menerapkan pola hidup yang kurang sehat dengan menghilangkan tradisi konsumsi pangan alami seperti sayuran, ikan, daging dan buah-buahan.
"Saat ini mereka bergeser pada jajanan yang instans kemudian dikonsumsi oleh anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua," ujar Dedi dalam keterangan tertulis, Selasa (20/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Dedi menjelaskan saat ini, makanan instan telah menggantikan tradisi masak makanan sehat di rumah. Hal ini terlihat dari tradisi menanak nasi yang mengalami pergeseran tajam.
Dulu, kata Dedi, masyarakat menanak nasi melalui berbagai tahapan mulai dari dicuci, masak setengah matang, diaduk dan dikukus untuk diproses menjadi matang. Sementara kini, mayoritas masyarakat memasak nasi dengan cara instans menggunakan alat modern.
"Kalau sekarang kan dicuci langsung dimasukkan ke rice cooker dan langsung dikonsumsi. Maka nasi yang dihasilkan akan sangat mengandung kadar gula yang tinggi. Sehingga wajar jika kadar gula tinggi itu menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat," katanya.
Selain itu, Dedi mengatakan tingkat konsumsi buah dan sayuran alami di masyarakat kini menurun drastis. Saat ini, masyarakat justru lebih memilih makanan yang praktis dibanding yang alami.
"Ini problem. Sebanyak 50 persen kelaparan terselubung itu adalah bukan karena faktor pendapatan, tetapi tradisi publik mengalami perubahan. Itu karena kemalasan manusia juga," kata Dedi.
Dedi menambahkan pergeseran tradisi tersebut menjadi penyebab terjadinya penurunan daya tahan tubuh pada anak-anak. Mengingat mereka mendapatkan asupan makanan yang tidak berkualitas.
Dedi pun mencontohkan saat dirinya bertemu warga miskin, yang setidaknya mengantongi uang Rp 50 ribu. Namun, kata Dedi, uang tersebut tidak dibelikan pangan alami, justru dipakai untuk membeli mi instans sebagai panganan sehari-hari.
Terkait kondisi ini, Dedi menyebut pentingnya dilakukan semacam revolusi pendidikan untuk memperbaiki pola tersebut. Adapun hal ini dapat dimulai melalui pihak sekolah yang menyarankan orang tua agar memasak bekal bergizi untuk anaknya di sekolah.
Adapun upaya ini pernah Dedi lakukan saat menjabat sebagai Bupati Purwakarta. Saat itu, ia mewajibkan pelajar untuk membawa bekal bergizi dari rumah. Selain untuk disantap sendiri, bekal juga bisa dibagikan kepada pelajar yang kurang mampu.
Di samping itu, kata Dedi, pemerintah juga diharapkan dapat memberi pemahaman kepada masyarakat terkait makanan dengan protein tinggi. Sebab saat ini, Dedi menilai hanya sedikit masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang makanan bergizi.
Padahal, makanan bergizi tidak harus dibeli dengan mahal. Mengingat masyarakat dapat memperolehnya dari sekitar rumah seperti pisang dan jambu. Kemudian, di beberapa permukiman saat ini juga masih banyak ditemui belut yang memiliki kadar gizi baik.
"Jadi sebenarnya hamparan kadar protein di Indonesia itu tinggi, tidak harus berbasis uang. Di sekitar rumah juga banyak. Belut misalnya," ujar Dedi.
Di sisi lain, Dedi juga meminta pemerintah melaksanakan program PKH untuk warga miskin. Meski di lapangan banyak penyimpangan, namun ia menilai program tersebut tetap harus berjalan dengan dibarengi pemahaman masyarakat soal makanan sehat dan bergizi.
Simak juga video 'Mendagri Minta Pemda Ikut Atasi Inflasi, Transfer ke Daerah Bisa Saja Dikurangi':