KPK berharap ada keterbukaan dalam pemberian remisi ataupun pembebasan bersyarat kepada narapidana korupsi. KPK meminta agar pemberian hak itu dilakukan secara proporsional.
"Jadi remisi maupun pembebasan bersyarat itu hak yang diberikan di Pasal 10 UU Pemasyarakatan, tapi pelaksanaannya harus proporsional," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron kepada wartawan, Kamis (15/9/2022).
"Nah, itu yang kemudian kami berharap ada proporsionalitas dan ada keterbukaan. Karena proses peradilan pidana itu terbuka, di sidang semuanya terbuka," tambahnya.
Ghufron menjelaskan, harus ada keseimbangan antara perbuatan pelaku korupsi yang dianggap mencederai publik dan merugikan rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, dia menilai pemberian remisi kepada napi korupsi yang proporsional.
"Maksudnya apa proporsional? Harus seimbang antara perbuatannya yang mencederai publik dan merugikan Indonesia rakyat banyak dengan kemudian pembinaan yang masanya, mohon maaf kadang hanya masanya 4 tahun sudah dianggap kemudian terpulihkan," ucap Ghufron.
Dia memahami soal UU Pemasyarakatan itu dapat memberikan hak kepada para napi koruptor untuk mengajukan remisi hingga pembebasan bersyarat. Namun, menurut dia, dalam kenyataannya pemasyarakatan itu adalah subsistem proses peradilan pidana yang tak bisa berdiri sendiri dalam penilaiannya.
"Sekali lagi, KPK memahami bahwa Undang-Undang Pemasyarakatan itu memberikan hak untuk mengajukan remisi dan pembebasan bersyarat kepada para narapidana, tetapi KPK memberikan garis bawah bahwa pemasyarakatannya itu adalah subsistem dari proses peradilan pidana. Jadi tidak bisa berdiri sendiri bahwa seakan-akan penilaiannya hanya penilaian ketika di dalam lapas," ujarnya.
Oleh sebab itu, Ghufron berharap pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu juga mempertimbangkan soal perilaku narapidana dalam proses penyelidikan hingga persidangan.
"KPK ingin dan berharap pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu juga harus mengapresiasi dan memerhatikan bagaimana perilaku pada saat penyelidikan, penyidikan, bahkan disidang," tegasnya.
Kemudian, Ghufron juga menyebut pemberian remisi berdasarkan sudut pandang masa pembinaan di lapas itu tidak masuk akal. Terlebih, menurut dia, keterampilan yang dikerjakan narapidana korupsi di lapas itu dianggap jadi sesuatu yang berkontribusi bagi negara dan kemanusiaan.
"Kan tidak logis kalau kemudian remisinya seakan-akan hanya remisi dalam perspektif masa pembinaan di lapas saja. Apalagi kemudian misalnya dianggap sudah memiliki kontribusi bagi negara dan kemanusiaan ketika sudah donor darah, kemudian pandai membatik, dan lain-lain," imbuhnya.
(fas/fas)