Remisi 'diobral' kepada 23 narapidana koruptor yang kini bebas bersyarat. Sentilan dari sana-sini pun bermunculan.
Sebanyak 23 napi korupsi yang bebas bersyarat itu termasuk Ratu Atut Choisiyah, Pinangki Sirna Malasari, Patrialis Akbar, Zumi Zola, Suryadharma Ali, hingga Tubagus Chaeri Wardana.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menjelaskan 23 napi koruptor itu sudah memenuhi persyaratan untuk bebas, sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
"Dan sekali lagi kami sampaikan bahwa hak ini memang diberikan nondiskriminasi tanpa terkecuali, kasus apa pun apabila sudah memenuhi persyaratan seperti tadi kami sampaikan maka berhak untuk mendapatkan hak bersyarat, baik itu PB, CB, CMB, termasuk remisi," kata Koordinator Hubungan Masyarakat dan Protokol Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham, Rika Aprianti, kepada wartawan, Rabu (7/9/2022).
Kritik dari KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkritik ramai-ramai pembebasan bersyarat kepada para napi koruptor ini. KPK menyebut sejatinya korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime yang juga harus ditangani dengan cara-cara yang ekstra.
"Pembinaan para pelaku korupsi pasca putusan pengadilan menjadi kewenangan dan kebijakan Kemenkumham. Meski demikian, korupsi di Indonesia yang telah diklasifikasikan sebagai extraordinary crime, sepatutnya juga ditangani dengan cara-cara yang ekstra, termasuk pelaksanaan pembinaan di LP sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses penegakan hukum itu sendiri," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Rabu (7/9).
Ali menerangkan penegakan hukum kepada para koruptor itu guna memberikan efek jera agar perbuatan serupa tidak terulang dan sebagai pembelajaran kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana korupsi. Karena itu, menurut dia, tidak seharusnya ada perlakuan khusus yang diberikan kepada para koruptor.
"Di mana kita pahami bahwa penegakan hukum ini juga dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya, agar tidak kembali melakukannya di masa mendatang. Sekaligus pembelajaran bagi publik agar tidak melakukan tindak pidana serupa," ujarnya.
"Sehingga dalam rangkaian penegakan hukum ini sepatutnya tidak ada perlakuan-perlakuan khusus yang justru akan mencederai semangat penegakan hukum tindak pidana korupsi," sambungnya.
KPK, kata Ali, juga memiliki kebijakan untuk memberikan efek jera kepada para koruptor baik melalui pidana badan maupun pidana tambahan. Tercatat hingga Agustus, KPK telah merampas aset sebesar Rp 303 miliar.
"KPK pun melalui kewenangan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi memiliki kebijakan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Baik melalui pidana pokok penjara badan maupun pidana tambahan seperti pencabutan hak politik ataupun merampas asetnya untuk memulihkan kerugian negara. Tercatat hingga Agustus 2022 ini KPK telah melakukan perampasan aset atau asset recovery sebesar Rp 303,89 miliar. Asset recovery tersebut berasal dari denda, uang pengganti, rampasan, penetapan status penggunaan (PSP) putusan inkrah tindak pidana korupsi," jelasnya.
KPK akan terus mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset. Hal itu, kata Ali, bukan hanya untuk memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi, tapi juga untuk memberikan sumbangsih ke kas negara.
"Untuk itu, guna memaksimalkan asset recovery dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, KPK juga terus mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset agar pemberantasan korupsi tidak hanya untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya, tapi juga memberikan sumbangsih penerimaan ke kas negara sebagai salah satu pembiayaan pembangunan nasional," ujarnya.
(rdp/rdp)