Tugas utamanya yaitu untuk memperkuat peran MPR dalam menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU MD3, khususnya yang terdapat dalam ayat D. Nantinya hasil penyerapan aspirasi itu akan diserahkan ke Badan Pengkajian MPR RI sebagai alat kelengkapan Mahkamah.
Diketahui, Forum Aspirasi Konstitusi dipimpin oleh Prof Jimly Asshiddiqie. Jimly merupakan anggota MPR RI dari unsur kelompok DPD RI, yang juga Pakar Hukum Tata Negara.
"Sebagai tahap awal, pada Oktober atau November 2022, Forum Aspirasi Konstitusi akan menyelenggarakan pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat dari mulai kalangan veteran, TNI-Polri, agamawan, cendikiawan, hingga praktisi dan akademisi. Sehingga aspirasi mereka terkait konstitusi yang selama ini hanya tersalurkan melalui tulisan di jurnal penelitian, media sosial, hingga grup WhatsApp, bisa diserap, dikaji, dan ditindaklanjuti oleh MPR RI. Khususnya dalam mempersiapkan konstitusi untuk menyongsong Indonesia Emas 2045 yang hanya tinggal 25 tahun lagi," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Kamis (1/9/2022).
Mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, dengan menyerap aspirasi dari berbagai kalangan, Forum Aspirasi Konstitusi juga bisa mengevaluasi kinerja konstitusi yang telah berjalan selama 24 tahun, dan telah mengalami 4 kali perubahan (amandemen). Mulai dari pascareformasi hingga saat ini.
Sebagai gambaran, empat kali amandemen tersebut meliputi hampir keseluruhan materi konstitusi.
"Naskah asli UUD 1945 yang pada mulanya berisi 71 butir ketentuan, setelah dilakukan empat kali amandemen menghasilkan 199 butir ketentuan. Dari 199 butir ketentuan tersebut, hanya 25 butir ketentuan atau 12 persen yang tidak mengalami perubahan dari naskah aslinya. Selebihnya, sebanyak 174 butir ketentuan atau 88 persen merupakan materi yang baru atau telah mengalami perubahan," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menyebut evaluasi terhadap konstitusi berdasarkan aspirasi masyarakat bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan. Justru, hasil berbagai evaluasi tersebut dapat mewujudkan konstitusi yang lebih ideal. Yakni konstitusi yang hidup (living constitution) dan konstitusi yang bekerja (working constitution).
"Konstitusi yang 'hidup' adalah konstitusi yang mampu menjawab segala tantangan dan dinamika zaman; sedangkan konstitusi yang 'bekerja' adalah Konstitusi yang benar-benar dijadikan rujukan dan diimplementasikan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara," terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, evaluasi terkait empat kali perubahan (amandemen) konstitusi misalnya bisa dilakukan terhadap masukan dari berbagai kelompok masyarakat. Di antaranya PP Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu, yang mengusulkan agar Utusan Golongan dihidupkan kembali dalam keanggotaan MPR RI.
Diketahui, keberadaan Utusan Golongan sebelumnya dihapus dari keanggotaan MPR RI pada perubahan pertama konstitusi tahun 1999. Namun setelah berjalan sekitar 24 tahun, ketiadaan Utusan Golongan dirasakan justru menyebabkan demokrasi Pancasila seperti kehilangan jati dirinya.
Menurut Bamsoet, keberadaan Utusan Golongan dalam lembaga perwakilan adalah amanat dan legasi kesejarahan yang telah diwariskan sejak awal kemerdekaan. Dikatakannya, utusan golongan secara prinsipil telah dikonsepkan oleh para pendiri bangsa sebagai bagian dari keterwakilan rakyat Indonesia yang plural. Dengan mendudukkan MPR sebagai lembaga negara yang merepresentasikan keterwakilan politik, keterwakilan daerah, dan keterwakilan golongan-golongan.
"Melalui Forum Aspirasi Konstitusi, dengan terlebih dahulu menyerap aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat, bisa saja MPR RI periode 2019-2024 merekomendasikan kepada MPR RI periode 2024-2029 untuk mengkaji lebih jauh tentang perlu kembalinya Indonesia memiliki Utusan Golongan. Sehingga perwakilan politik (political representation), perwakilan daerah (regional representation), serta perwakilan golongan (functional representation) bisa terakomodir dalam lembaga perwakilan rakyat yang inklusif di MPR RI," pungkas Bamsoet.
(prf/ega)