Setiap orang berhak membuat surat wasiat dalam pembagian harta warisan. Tapi apakah wasiat menutup total hak pewaris yang sudah ditentukan hukum?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate yang dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com Berikut pertanyaan lengkapnya:
Salam tim Detik's Advocate.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya A, tinggal di Jakarta. Kami berasal dari keluarga keturunan Tionghoa. Saya mau menanyakan tentang permasalahan warisan.
Ibu saya mempunyai kakak perempuan kandung yang statusnya tidak mempunyai suami dan tidak mempunyai anak sampai ia meninggal dunia. Kedua orang tua dan semua saudara kandung mereka juga sudah lama meninggal dunia.
Kakak perempuan dari Ibu saya ini memiliki sebuah rumah peninggalan yang ia tempati sendiri selama masih hidup. Kemudian setelah meninggal, tiba-tiba ada satu orang keponakan (sepupu saya), memberitahukan kepada keluarga dengan membawa surat wasiat dari almarhum kakak perempuan ibu saya, yang menyatakan bahwa rumah peninggalan tersebut diberikan sepenuhnya kepada keponakan (sepupu saya) itu. Saat ini rumah tersebut dikuasai oleh keponakan (sepupu saya).
Pertanyaan saya :
1. Apakah ibu saya berhak atas rumah warisan tersebut?
2. Seandainya ibu saya berhak, bagaimana dengan wasiat yang sudah ada?
Mohon penjelasannya secara hukum agar kami mendapat gambaran yang benar untuk menyelesaikan masalah ini.
Terima kasih.
Antoni
Jakarta
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik's Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H. Berikut penjelasan lengkapnya:
Salam hormat
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Kami akan coba membantu untuk menjawabnya.
Terdapat tiga aturan hukum tentang waris yang berlaku di Indonesia, yaitu Hukum Waris Islam, Hukum Waris Perdata Barat, dan Hukum Waris Adat. Dari pertanyaan di atas, Saudara menyatakan diri berasal dari keluarga keturunan Tionghoa, oleh karena itu menurut hukum, yang diberlakukan bagi Saudara atau keluarga Saudara adalah Hukum Waris Perdata Barat, berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Menurut ketentuan Pasal 832 Ayat (1) KUHPerdata, yang berhak menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah, baik yang sah maupun luar kawin, serta suami atau istri yang hidup terlama.
Lebih lanjut, Prof Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata mengatakan, untuk menetapkan siapa yang berhak mewarisi harta peninggalan seseorang, anggota-anggota keluarga si meninggal (pewaris) dibagi ke dalam berbagai golongan. Jika terdapat orang-orang dari golongan pertama, mereka itulah yang bersama-sama berhak mewarisi semua harta peninggalan. Sedangkan anggota keluarga lain tidak mendapat bagian apapun. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama, barulah orang-orang yang termasuk golongan kedua tampil sebagai ahli waris, dan seterusnya.
Untuk itu, terdapat empat golongan ahli waris, yang lebih didahulukan hak warisnya berdasarkan urutannya, yaitu:
1. Golongan I : Suami / istri yang hidup terlama berserta anak keturunannya;
2. Golongan II : Orang tua dan saudara kandung pewaris;
3. Golongan III : Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua pewaris;
4. Golongan IV : Paman dan bibi pewaris, baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
Berdasarkan pertanyaan Saudara, didapat suatu kondisi bahwa kakak perempuan dari ibu Saudara tidak mempunyai suami dan/atau anak semasa hidupnya, lalu kedua orang tua beserta dengan semua saudara kandung dari ibu Saudara juga sudah meninggal dunia. Almarhum kakak perempuan dari ibu Saudara, selaku pewaris, meninggalkan sebuah rumah warisan, kemudian rumah tersebut diberikan seluruhnya kepada keponakan (sepupu Saudara) atas dasar surat wasiat.
Pasal 874 KUHPerdata menyatakan, segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu belum diadakan ketetapan yang sah. Ketetapan yang sah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 874 tersebut, yaitu berupa adanya surat wasiat (testamen).
Menurut ketentuan Pasal 875 KUHPerdata, surat wasiat adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, yang olehnya dapat dicabut kembali lagi. Dengan demikian, apabila terdapat surat wasiat, maka proses pembagian harta warisan tidak dapat dilangsungkan begitu saja diantara para ahli waris, namun harus memperhatikan isi surat wasiat yang telah dibuat.
Surat wasiat harus memperhatikan bagian mutlak dari para ahli waris (legitieme portie). Legitieme portie menurut ketentuan Pasal 913 KUHPerdata adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.
Atas dasar uraian di atas, menurut pendapat kami, kedudukan ibu Saudara yang merupakan saudara kandung dari kakak perempuannya (pewaris), sekalipun termasuk ke dalam golongan yang berhak menerima warisan, tetapi pada keadaan ini, tidak mempunyai hak atas bagian mutlak (legitieme portie) dari harta waris, sebab bukan sebagai keluarga dari garis lurus ke atas ataupun ke bawah dari pewaris.
Yang dimaksud dengan keluarga garis lurus ke atas atau ke bawah, yaitu anak-anak, baik yang lahir dari perkawinan yang sah ataupun anak luar kawin yang diakui dengan sah, termasuk suami/istri, serta orang tua ataupun derajat di atasnya.
Ini sesuai sebagaimana ketentuan Pasal 917 KUHPerdata yang menyatakan, dalam hal tidak adanya keluarga sedarah pada garis lurus ke atas dan ke bawah, pun tidak adanya anak-anak luar kawin yang diakui dengan sah, hibah-hibah antara yang masih hidup atau dengan surat wasiat, boleh meliputi segenap harta peninggalan.
Bila ada wasiat maka ahli waris tetap patut untuk diperhitungkan.Yudhi Ongkowijaya, advokat |
Oleh karena itu, almarhum kakak perempuan dari ibu Saudara diperbolehkan untuk membuat surat wasiat yang isinya memberikan sepenuhnya rumah peninggalan kepada keponakan (sepupu Saudara). Akan tetapi, kedudukan ibu Saudara yang dalam peristiwa ini dapat dikategorikan sebagai ahli waris Golongan II, yang sebenarnya layak mendapatkan bagian waris, namun terhalang oleh surat wasiat yang sudah dibuat, menurut pendapat kami, tetap patut untuk diperhitungkan dalam pembagian warisan.
Kami menyarankan agar persoalan ini akan lebih bijak apabila dimusyawarahkan secara kekeluargaan, terlebih diantara ahli waris dan penerima wasiat semuanya adalah masih satu keturunan keluarga besar. Hal tersebut tentu akan menjadi jalan keluar yang terbaik dalam rangka penyelesaian masalah.
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat. Salam.
Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H.
Partner pada Law Office ELMA & Partners
www.lawofficeelma.com
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum waris, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
![]() |
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
(asp/asp)