Akibat 'deadlock' itu, kata Karyoto, ketiganya bersama dengan Supriyono mengadakan pertemuan dengan perwakilan TAPD. Dalam pertemuan itu, KPK menduga AM, IK, AG, dan Supriyono meminta 'uang ketok' agar APBD itu disahkan.
"Diduga Supriyono, AM, AG, dan IM berinisiatif untuk meminta sejumlah uang agar proses pengesahan RAPBD TA 2015 menjadi APBD dapat segera disahkan dengan istilah 'uang ketok palu'," jelasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karyoto menduga 'uang ketok palu' yang diminta itu berjumlah Rp 1 miliar. Inisiatif itu disetujui Bupati Kabupaten Tulungagung Syahri Mulyo.
"Nominal permintaan 'uang ketok palu' yang diminta Supriyono, AM, AG, dan IK tersebut diduga senilai Rp 1 miliar dan selanjutnya perwakilan TAPD menyampaikan pada Syahri Mulyo selaku Bupati Kabupaten Tulungagung yang kemudian disetujui," tutur Karyoto.
Selain 'uang ketok palu', KPK menduga para tersangka meminta tambahan uang jatah banggar yang nilainya disesuaikan dengan jabatan anggota DPRD. Uang itu diduga diberikan secara tunai di kantor DPRD Tulungagung dalam kurun 2014-2018.
"Penyerahan uang diduga dilakukan secara tunai dan bertempat di kantor DPRD Kabupaten Tulungagung yang berlangsung dari tahun 2014 sampai tahun 2018," jelas Karyoto.
Tak hanya itu, Imam Kambali selaku perwakilan Supriyono, Adib Makarim, dan Agus Budiarto diduga meminta sejumlah uang dari Syahri Mulyo. Salah satunya saat pengesahan APBD hingga penyusunan perubahan APBD.
"Diduga ada beberapa kegiatan yang diminta oleh IK sebagai perwakilan Supriyono, AM dan AG untuk dilakukan pemberian uang dari Syahri Mulyo, di antaranya pada saat pengesahan penyusunan APBD murni maupun penyusunan perubahan APBD," ujar Karyoto.
Dalam perkara itu, Karyoto menduga masing-masing tersangka menerima 'uang ketok palu' senilai Rp 230 juta.
"Para tersangka diduga masing-masing menerima 'uang ketok palu' sejumlah sekitar Rp 230 juta," tutup Karyoto.
(dnu/dnu)