Eks Hakim MK Nilai Perlu UU Impeachment dan UU Pembubaran Parpol

Eks Hakim MK Nilai Perlu UU Impeachment dan UU Pembubaran Parpol

Andi Saputra - detikNews
Jumat, 19 Agu 2022 12:23 WIB
I Dewa Gede Palguna
I Dewa Gede Palguna (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna menyatakan Indonesia sudah saatnya memiliki UU Impeachment dan UU Pembubaran Parpol. Dua agenda itu adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diberikan oleh UUD 1945.

Palguna menilai dua kewenangan itu sangat besar sehingga tidak cukup diatur oleh peraturan Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga hari ini, belum ada UU yang mengatur soal dua hal itu.

"Perkara pembubaran parpol dan impeachment nggak cukup diatur dengan peraturan Mahkamah Konstitusi. Syukur-syukur sudah diatur di MK," kata Palguna, yang disiarkan di YouTube MK, Jumat (19/8/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Palguna juga menilai Mahkamah Konstitusi (MK) pada dasarnya memang mengadili perkara-perkara politik. Oleh sebab itu, MK bisa menjadi politis dan legalistik. Tergantung pertimbangan putusannya ke arah mana.

"Peran Mahkamah Konstitusi adalah judicial restrain politic. Bagaimana membuat urusan-urusan politik itu secara yudisial diputus berdasar pertimbangan hukum," kata Palguna.

ADVERTISEMENT

Karena itu, MK seperti mengayuh dalam gelombang di antara dua karang, yaitu karang hukum dan karang politik.

"Kalau terlalu pertimbangannya politis, orang akan menuduh ini Mahkamah kok berpolitik nih. Tapi, kalau pertimbangan hukumnya terlalu berat, seperti kata Bivitri tadi, wah Mahkamah terlalu legalistik. Inilah the art of being constitutional justice menurut pengalaman saya," ucap Palguna, yang menjadi hakim MK pada 2003-2008 dan 2015-2020.

Catatan terakhir, terdapat permasalahan di masyarakat, yaitu ada peraturan UU di bawah UU melanggar UUD 1945. Lalu ke manakah akan mengujinya? Apakah ke Mahkamah Agung (MA)?

"Bagaimana bila ada peraturan di bawah UU melanggar UUD, ke mana menguji? Ini saya berharap dari lahir penafsiran MK," beber Palguna.

Di tempat yang sama, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menyoroti soal rencana amendemen UUD 1945 lagi. Bivitri menegaskan, ketika ada ide perubahan konstitusi atau evaluasi konstitusi, semua harus memikirkan kembali semuanya lebih mendalam. Sedikitnya ada tiga kelompok yang menyikapi usulan itu.

"Sedangkan kembali ke UUD 1945 naskah awal juga bukan pilihan karena UUD 1945 sebelum diamendemen mengandung banyak sekali kelonggaran pada penguasa dan ketergantungan yang tinggi pada elite politik. Ketergantungan ini bisa dipahami dalam konteks kemerdekaan 1945, dengan masih belum terinstitusionalkannya demokrasi Indonesia yang baru lahir. Namun tak lagi relevan dengan banyaknya aktor politik dan pluralisme yang semakin berkembang. Saya berada pada kelompok ketiga," tegas Bivitri.

Lihat video 'Berkas 24 Parpol Calon Peserta Pemilu Dinyatakan Lengkap!':

[Gambas:Video 20detik]



(asp/zap)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads