Senja Kala Kode Etik Hakim Indonesia
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Senja Kala Kode Etik Hakim Indonesia

Selasa, 07 Jun 2022 10:15 WIB
Andi Saputra
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
andi saputra
Andi Saputra (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Kode etik hakim adalah jiwa dan hukum adalah badannya. Bila jiwa itu telah tiada, maka tubuh itu menjadi zombi berjalan tanpa kenal malam.

Pada suatu kesempatan, saya mengunjungi Supreme Court of the United Kingdom (UK). Saat masuk area gedung tertulis aturan tidak boleh memfoto dan membuat video.

"Bolehkah saya memfoto ruang sidang? Bukankah ini ruang untuk umum?" kata saya ke petugas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tetap tidak boleh," jawab petugas.

"Apa alasannya?" tanya saya penasaran.

ADVERTISEMENT

"Di meja hakim ada berkas perkara. Di sana ada buku-buku yang dibaca hakim. Nanti khawatirnya para pihak bisa membaca jalan pikiran hakim dengan merujuk buku yang dibaca hakim untuk memenangkan perkara," jawab petugas dengan aksen Inggris.

Saya terkejut dan terkesima. Sebegitu ketatnya kode etik hakim di Inggris, sampai-sampai buku referensi hukum sang hakim ditutup rapat bagi publik atau pihak berperkara.

Kekhawatiran ini beralasan, sebab alur berpikir hakim dan doktrin yang diyakininya bisa menjadi celah bagi pihak berperkara untuk masuk ke jalan pikiran hakim agar si pihak berperkara menang. Bila si hakim memakai mazhab A, maka si pihak berperkara juga pakai argumen mazhab A juga. Sinar kemenangan sudah di tangan.

Bila alam pikir hakim saja sudah diberi sekat bagi pihak berperkara agar hakim tidak terpengaruh, maka jangan berharap untuk bisa menggodanya dengan bujuk rayu. Makan siang umpamanya.

Di Belanda, beberapa hakim memilih makan siang jauh dari tempatnya kerja. Alasannya, agar membentengi independensi, siapa tahu suatu saat restoran yang dekat dengan gedung pengadilan akan menjadi pihak berperkara.

Beda Inggris, beda Indonesia. Malah kini hakim ramai-ramai bikin buku hukum, baik materiil ataupun hukum acara. Sepertinya banyak yang lupa adagium lama, mahkota hakim adalah di putusan, bukan jadi penulis buku. Apa jadinya bila si hakim itu menjadi pengadil, si pihak berperkara tinggal baca buku si hakim, peluang menang sudah di atas angin.

Indonesia juga baru saja dipertontonkan dengan pernikahan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dengan adik Presiden RI sehingga keduanya terjadi hubungan semenda. Pernikahan digelar besar-besaran. Seluruh pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga para pengusaha datang. Tak ada lagi sekat kode etik bila yang menikah adalah seorang pengadil.

Pernikahannya adalah sah karena menikah adalah hak asasi, tapi dalam jabatan Ketua MK melekat kode etik yang berlaku 24 jam. Tidak hanya saat memakai toga merah di ruang sidang.

Dalam kode etik, independensi bukan hanya untuk ditegakkan, tetapi juga harus dibuat barier yang berjarak dari pusat independensi. Sehingga setiap ada upaya yang menabrak barier kode etik, alarm akan menyala dengan kencang sehingga independensi akan terjaga.

Maka cukup wajar bila ada desakan dari masyarakat agar Ketua MK mundur dari jabatannya karena barier independensinya sudah ditembus lewat pintu pernikahan dengan keluarga pihak berperkara. Bukankah syarat hakim konstitusi adalah seorang negarawan?

Masih hangat dalam pemberitaan ada hakim yang malah memakai narkoba. Dulu, ada hakim memakai narkoba di tempat karaoke. Kemudian bergeser ada hakim yang memakai narkoba di rumah dinas hakim. Kini hakim memakai narkoba di ruang kerja.

Anehnya, alarm kode etik hakim di lingkaran hakim itu tidak menyala. Bagai petir di siang bolong, yang membongkar pelanggaran kode etik dan kejahatan hukum itu malah lembaga luar yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN), bukan Badan Pengawas Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial.

Akal sehat kita semakin tidak bisa menerima bila melihat perbandingan dengan hakim yang terjaring OTT KPK. Para dewa-dewa di Mahkamah Agung (MA) turun langsung mendatangi Gedung KPK dan dengan gagahnya berkata, "Bila hakim tidak mau dibina, maka akan kami binasakan".

Lalu di manakah para petinggi pengadilan saat ada OTT yang dilakukan BNN terhadap hakim? Mengapa tidak ada perwakilan pimpinan pengadilan yang mendampingi press release BNN Banten?

Dua kasus di atas menjadi argumen kualitatif bahwa alarm kode etik hakim Indonesia sudah berwarna merah hitam. Ada yang tidak beres dalam pengadilan Indonesia.

Simak juga 'Positif Narkoba! Dua Hakim PN Rangkasbitung Dibekuk BNN':

[Gambas:Video 20detik]



Memang benar, Indonesia bukan Inggris. Tetapi dalam kode etik hakim, Indonesia dan Inggris sama-sama bernaung dalam satu prinsip, The Bangalore Principles of Judicial Conduct. Pada titik ini, akhirnya kita hanya bisa berseloroh. "Khusus Indonesia, apakah kode etik hakim itu mengenal kasta?"

Andi Saputra, S.H, M.H editor hukum detikcom; tulisan ini opini pribadi, bukan mewakili kebijakan redaksi

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads