Yayasan Hubbul Wathon 19 menggelar kegiatan bertajuk 'Jambore Pejuang Damai,' yang salah satu tujuannya mengajak mantan napi teroris (napiter) untuk kembali mencintai Indonesia. Dalam kesempatan itu, sejumlah mantan napiter menyampaikan perasaannya setelah mengikuti kegiatan.
"Ini saya diajak katanya di sini mau membuka wawasan cakrawala berpikir kita. Menjelaskan bagaimana dampak-dampak perbuatan kita dahulu kepada masyarakat, dan juga kita ke depannya bagaimana," kata salah satu mantan napiter, Dodi Suridi, kepada wartawan di Leuwi Pangaduan, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Sabtu (13/8/2022).
"Di sini alhamdulillah kita diajak dengan kegiatan seperti ini, sehingga kita tidak terjerumus lagi ke dalam perbuatan-perbuatan kita dulu yang merugikan masyarakat," sambungnya.
Dodi saat itu terlibat dalam peristiwa teror di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat (Jakpus). Dia menjadi bagian tim perakit bom.
"Saya terlibat dalam kasus pengeboman dan penembakan di Jalan Thamrin, Jakarta. Saya nggak terlibat langsung di sana, saya hanya bagian perakitan bom. Itu 2016 awal," jelasnya.
Setelah mengikuti program deradikalisasi, Dodi merasakan bahwa apa yang dilakukannya dahulu merupakan perbuatan keliru. Dia diperlihatkan foto-foto korban yang terdampak atas tindakannya.
"Di situlah saya mulai tersentuh. Mulai menyadari apakah perjuangan saya selama ini. Karena memang cita-cita saya kan kalau kata orang baik ingin menegakkan syariat, membawa keadilan. Cuma apakah benar yang saya lakukan ini? Kok dampaknya kepada kamu muslimin, kepada masyarakat sipil seperti ini," bebernya.
Dodi bercerita awal mula terpapar paham ekstremis saat dirinya tergabung di salah satu organisasi kemasyarakatan. Dia berpesan kepada para pelaku teror agar segera menghentikan tindakannya.
"Saya harap, sudahlah... acara teror seperti itu dihentikanlah. Karena tidak ada dampak bagi kaum muslimin, kecuali keburukan. Karena realitas saja, keluarga tersangka, apalagi keluarga korban yang sangat menderita, itu tetap terkena dampak buruknya," terangnya.
Mantan napiter lainnya, Badri Wijaya, juga menyesali perbuatannya dahulu. Dia kini ingin membuktikan bahwa dirinya yang sekarang telah berubah.
"Ya alhamdulillah dengan acara ini, kita bisa rasakan ternyata apa yang kita lakukan dulu sebuah kesalahan yang seyogianya itu adalah kesalahan masa lalu. Dari hari ini kan ke depan, kita akan berubah. Buktikan kepada masyarakat bahwa hari ini kita bukan yang dulu lagi," kata Badri.
Badri sempat terlibat aksi teror dalam konflik Ambon Poso pada 2001. Dia mengakui yang dilakukannya merupakan kesalahan, akibat tidak baik dalam menyerap informasi.
"Ternyata konflik itu bukan konflik agama, tapi konflik sosial, sehingga kita menyadari kesalahan dalam menyerap informasi. Jadi kita harus cari informasi, jangan telan mentah-mentah. Itu pelajaran buat kita dan yang lain," pungkasnya.
(aik/aik)