Jakarta -
Permohonan uji materi UU Narkotika terhadap UUD 1945 terkait penggunaan ganja medis untuk kesehatan kandas. Tidak ada bukti kajian medis mengenai ganja untuk kesehatan menjadi alasan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan tersebut.
"Mengadili. Menolak permohonan pemohon," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di gedung MK yang disiarkan live dari channel YouTube MK, Rabu (20/7/2022).
Gugatan itu perkara nomor 106/PUU-XVIII/2020 itu diajukan Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti dkk. Mereka meminta MK untuk mengubah Pasal 6 Ayat (1) UU Narkotika untuk memperbolehkan penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan medis. Mereka juga meminta MK menyatakan Pasal 8 Ayat (1) yang berisi larangan penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan kesehatan inkonstitusional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
MK menilai dirinya tidak berwenang mengadili materi yang dimohonkan karena hal itu bagian dari kebijakan terbuka DPR dan pemerintah. Yaitu untuk mengkaji apakah benar ganja memang bisa digunakan untuk medis.
"Hal itu bagian dari open legal policy," ucap MK.
Dalam sidang, didengarkan seluruh pihak yang pro ataupun yang kontra. Di antaranya:
Ahli asal Inggris, Stephen Rolles
Stephen merupakan analis kebijakan senior untuk Transform Drug Policy Foundation, yaitu sebuah badan amal yang berbasis di Inggris. Transform Drug Policy Foundation terlibat dalam kegiatan analisis dan advokasi kebijakan obatβobatan.
Ia menyebut penetapan ganja sebagai narkoba golongan I adalah kebijakan politis. Stephen menilai disetarakannya golongan ganja dengan heroin, sabu, hingga ekstasi bukan didasarkan alasan kesehatan.
"Secara umum, kalau kita melihat secara historis banyak keputusan-keputusan tentang penggolongan obat-obatan tersebut, khususnya yang sudah lama dilakukan puluhan tahun yang lalu, seperti LSD atau cannabis (ganja) itu terjadi dalam suatu konteks yang sangat terpolitisasi," kata pria yang akrab disapa Steve.
Dekan Fakultas Hukum (FH) Unika Atma Jaya, Jakarta, Asmin Fransiska
Asmin menyatakan setuju ganja untuk kesehatan dilegalkan. Menurutnya, legalisasi itu sesuai dengan konstitusi yang menjamin hak atas kesehatan masyarakat.
"Konstitusi Republik Indonesia Pasal 28H ayat (1) menjamin hak atas kesehatan, atas layanan kesehatan kepada semua. Salah satu sifat dari hak atas kesehatan adalah bahwa hak tersebut bersifat progressive realization atau pemenuhannya harus dilakukan terus-menerus secara progresif dan tidak boleh regresif atau menurun serta diberikan dan dipenuhi tanpa diskriminasi atau nondiscriminations principle," kata Asmin.
Ahli pemerintah Aris Catur Bintoro
Aris sehari-hari adalah spesialis saraf dan Ketua Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia. Aris saat ini bekerja di KSM Neurologi RSUP Kariadi Semarang. Menurutnya, organisasi epilepsi dunia (ILEA/International League Against Epilepsy) belum sepakat ganja bisa dipakai untuk terapi kesehatan. Oleh sebab itu, Aris meminta MK menolak judicial review pemohon agar ganja untuk kesehatan dilegalkan.
"Kami di ILAE, Organisasi Epilepsi Dunia, beberapa waktu yang lalu, tahun 2018, di Bali diselenggarakan simposium tentang pro dan kontra. Ini menunjukkan bahwa masih belum ada kesepakatan dari banyak ahli-ahli tentang obat kanabis sebagai obat anti epilepsi," kata Aris.
Simak juga video 'BNN: Kami Cenderung Mau Selamatkan Generasi Muda daripada Legalkan Ganja':
[Gambas:Video 20detik]
Simak halaman selanjutnya tentang pertimbangan MK
Pertimbangan MK
MK membeberkan pertimbangannya soal menolak legalisasi penggunaan ganja medis untuk kesehatan. MK meminta pemerintah segera bikin riset ganja untuk kesehatan.
"Dengan demikian, melalui putusan a quo, Mahkamah perlu menegaskan agar pemerintah segera menindaklanjuti Putusan a quo berkenaan dengan pengkajian dan penelitian jenis narkotika Golongan I untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi, yang hasilnya dapat digunakan dalam menentukan kebijakan, termasuk dalam hal ini dimungkinkannya perubahan undang-undang oleh pembentuk undang-undang guna mengakomodir kebutuhan dimaksud," demikian bunyi putusan MK yang dibacakan bergantian oleh 9 hakim MK dalam sidang di gedung MK yang disiarkan live dari channel YouTube MK.
Sebab, penyerahan kewenangan oleh MK kepada pembentuk undang-undang didasarkan karena UU 35/2009 a quo tidak hanya mengatur penggolongan jenis narkotika, akan tetapi termasuk di dalamnya juga mengatur sanksi-sanksi pidana. Oleh karena terhadap undang-undang yang di dalamnya memuat substansi hal-hal yang berkenaan dengan pemidanaan (kriminalisasi/dekriminalisasi), MK dalam beberapa putusannya telah berpendirian hal-hal tersebut menjadi kewenangan pembentuk undang-undang (open legal policy).
"Sehingga, terhadap UU 35/2009 ini pun oleh karena di samping mengatur tentang pemanfaatan narkotika yang diperlukan pengaturan yang sangat rigid dan secara substansial narkotika adalah persoalan yang sangat sensitif, serta karena alasan UU 35/2009 memuat sanksi-sanksi pidana, maka cukup beralasan apabila pengaturan norma-normanya diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menindaklanjutinya," beber MK.
Apabila hasil pengkajian dan penelitian ternyata jenis narkotika Golongan I dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi dan diperlukannya peraturan-peraturan pelaksana, pemerintah bersama-sama dengan para pemangku kepentingan harus mengatur secara detail tentang antisipasi kemungkinan adanya penyalahgunaan jenis narkotika Golongan I.
"Oleh karena itu, melalui putusan a quo, Mahkamah juga mengingatkan agar pembentuk undang-undang, termasuk pembuat peraturan pelaksana harus benar-benar cermat dan hati-hati dalam mengantisipasi hal-hal tersebut, mengingat kultur dan struktur hukum di Indonesia masih memerlukan edukasi secara terus menerus," beber MK.
MK menyebut penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 telah memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum berkaitan dengan hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, serta demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.
Di samping itu, ketentuan tersebut telah memberikan kepastian hukum berkaitan dengan hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
"Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas ketentuan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum," kata majelis.
Suara Penggugat
Setelah permohonannya ditolak MK, para pemohon mendorong pemerintah dan DPR mengkaji ulang soal ganja medis untuk kesehatan. Hal itu dinilai harus menjadi poin utama dalam revisi UU Narkotika.
"Sebagai open legal policy, maka dalam proses revisi UU Narkotika, pemerintah dan DPR harus mengkaji ulang pelarangan penuh penggunaan narkotika untuk kepentingan kesehatan, sehingga penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 8 UU Narkotika harus menjadi poin penting untuk dihapuskan dalam revisi UU Narkotika," demikian siaran pers Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan kepada wartawan, Rabu (20/7).
Menurut koalisi, pemerintah maupun swasta sesuai dengan amanat MK akan memiliki peluang yang besar untuk menyelenggarakan penelitian yang komprehensif dan mendalam tentang penggolongan narkotika, dan teknis pemanfaatan narkotika untuk kepentingan kesehatan. Bahkan sampai dengan membangun sistem yang kuat terkait dengan hal tersebut.
"Pemerintah segera melakukan penelitian dan pengkajian ilmiah terhadap jenis-jenis narkotika golongan I yang dapat dimanfaatkan sebagai pelayanan kesehatan. Penelitian ini juga penting untuk menghasilkan skema yang jelas dan komprehensif tentang pemanfaatan narkotika golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan," bebernya.
Sebagai catatan, MK menekankan kata 'segera' pada putusannya, sehingga hal ini harus dimaknai tidak boleh lagi ada penundaan dan ketidakpastian dari pemerintah dalam melakukan penelitian narkotika untuk pelayanan kesehatan. Selain itu, pemerintah Indonesia juga dapat merujuk penelitian-penelitian lain di luar negeri ataupun yang dikeluarkan badan PBB seperti kajian pada 2019 dari Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD) yang menjadi dasar rekomendasi perubahan golongan dan pemanfaatan ganja untuk pelayanan kesehatan di the Commission on Narcotics Drugs (CND).
"Bersamaan dengan itu, pemerintah juga harus memberikan solusi kepada anak-anak yang menderita cerebral palsy, khususnya yang membutuhkan pengobatan spesifik seperti terapi minyak ganja. Pemerintah harus membantu memikirkan pembiayaan pengobatan di Indonesia yang tidak 'ter-cover' BPJS dan peralatan penunjang lain yang berbiaya tinggi," ungkapnya.
Bergabung dengan koalisi itu adalah Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, LGN dan EJA. Bersama Dwi Pertiwi, Santi Warastuti dan Nafiah Murhayanti mereka meminta ganja untuk kesehatan ke MK agar dilegalkan tapi ditolak MK.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini