Sidang judicial review soal UU Perkawinan soal nikah beda agama akan mendengarkan keterangan Dewan Da'wah Islamiyah sebagai pihak terkait. Selain itu, MK juga akan mendengarkan keterangan dari saksi yang diajukan pemohon.
"Mahkamah Konstitusi (MK) segera menggelar sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi pemohon dan pihak terkait Dewan Da'wah Islamiyah pada Senin (18/7) pukul 11.00 WIB," demikian bunyi siaran pers yang dilansir MK, Jumat (15/7/2022).
Permohonan ini diajukan oleh perorangan beragama Khatolik yang berdomisili di Kampung Gabaikunu, Papua, E Ramos Petege. Dalam permohonannya,ia hendak melangsungkan perkawinan denganperempuan pemeluk agama Islam. Namun karena terkendala UU Perkawinan, Petege tidak bisa melangsungkan pernikahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sidang perkara itu, MK telah mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah pada awal Juni lalu. Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mewakili DPR menegaskan bahwa agama menetapkan keabsahan perkawinan, sedangkan undang-undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara.
"Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan merupakan bentuk pemaksaan agama tertentu oleh negara, adalah dalil yang tidak berdasar," kata Arsul Sani.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kamarudin mewakili Pemerintah menyampaikan bahwa hukum perkawinan setiap agama dan kepercayaan di Indonesia berbeda-beda. Sehingga, menyamakan hal tersebut dipandang Pemerintah justru menimbulkan diskriminasi bagi setiap pemeluk agama dan kepercayaan dalam melangsungkan perkawinan.
MK juga mendengarkan keterangan pihak terkait MUI pada Rabu (15/6). Dalam kesempatan tersebut, MUI tegas menyampaikan bahwa pengakuan perkawinan beda agama justru mengesampingan kesakralan hukum agama dari setiap agama yang ada di Indonesia.
"Negara tidak menghambat pemenuhan HAM Pemohon dengan tidak mengakui hal tersebut," kata MUI.
Adapun ahli yang dihadirkan pemohon, Usmad Hamid, menyatakan bahwa dalam perspektif hukum internasional, ketentuan larangan pernikahan beda agama dalam hukum Islam akan dinilai sebagai hukum yang diskriminatif. Mengapa?
"Karena laki-laki muslim boleh menikahi perempuan non-muslim sementara perempuan tidak boleh menikahi laki-laki nonmuslim," ujar Usman Hamid.
Simak video 'PN Surabaya Sahkan Nikah Beda Agama, Ma'ruf Amin: Tidak Boleh':