Hakim konstitusi Suhartoyo mempertanyakan relevansi larangan pernikahan beda agama di UU Perkawinan. Sebab, UU itu telah berusia puluhan tahun sehingga konstektualnya bisa saja dikaji lagi.
"Sebenarnya Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini, ini kan sudah hampir 40 lebih tahun," kata Suhartoyo yang dikutip risalah sidang dari website MK, Senin (4/7/2022).
Suhartoyo menggarisbawahi keterangan DPR yang disampaikan Arsul Sani. Diterangkan Arsul Sani bila larangan itu sudah menjadi perdebatan saat lahirnya UU Perkawinan itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah, persoalan yang muncul kemudian, memang dalam konteks kekinian, Pak Arsul dan Pak Dirjen, ini kan sudah berbeda dengan tahun 1974. Apakah tetap statis seperti 1973 ataukah sudah ada konteks kekinian yang sebenarnya juga menjadi bahan kajian bersama ketika akan dilakukan perubahan Undang‐Undang Nomor 174 itu, Pak Arsul?" tanya Suhartoyo.
Suhartoyo menyatakan pernikahan beda agama, meski dilarang, tetap dilakukan. Lalu bagaimana solusi hukum atas kekosongan hukum tersebut.
"Kalau Pak Arsul menggunakan istilah civil marriage dan religious marriage yang itu memang tidak bisa dipisahkan, tapi di tataran empirik kan, itu ada. Nah, sebenarnya bagaimana jalan tengah kalau memang ada pandangan‐pandangan ketika pembahasan di 2019 bersama‐sama dengan Presiden ketika ada perubahan itu, dalam perspektif hari ini, yang kemudian bisa menjadi jalan tengah itu?" tanya Suhartoyo lagi.
Menjawab pertanyaan itu, anggota DPR Arsul Sani menyatakan DPR menerima aspirasi soal pernikahan beda agama. Tapi DPR hingga saat ini masih sepakat mempertahankan pasal tersebut.
"Sikap resmi DPR sebagai jawaban kami terepresentasikan dalam sikap fraksi-fraksi yang ada di DPR. Pada umumnya fraksi‐fraksi yang ada di DPR tetap sepakat untuk mempertahankan politik hukum yang diletakkan di dalam Pasal 2 Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974. Nah, kenapa kok tetap mempertahankan? Karena dalam pandangan kami di DPR, ini terkait juga dengan kesepakatan kita bernegara. Kontrak sosial kita bernegara. Bahwa memang kontrak sosial kita bernegara ini, ya, yang kemudian kalau terkait dengan kedudukan agama itu tercermin, baik dalam Sila Pertama Pancasila maupun Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Itu memang berbeda dengan yang ada di negara-negara lain. Di mana perspektif tentang sejauh mana negara boleh masuk dalam ruang privasi seseorang, termasuk dalam urusan perkawinan itu berbeda," jawab Arsul Sani panjang lebar.
Sebagaimana diketahui, judicial review itu diajukan oleh warga Papua, Ramos Petege yang mengaku gagal menikahi kekasihnya yang muslim karena terhambat UU Perkawinan.
"Pemohon adalah warga negara perseorangan yang memeluk agama Katolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam. Akan tetapi, setelah menjalin hubungan selama 3 tahun dan hendak melangsungkan perkawinan, perkawinan tersebut haruslah dibatalkan karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda," demikian bunyi permohonan Ramos Petage.
Simak video 'PN Surabaya Sahkan Nikah Beda Agama, Ma'ruf Amin: Tidak Boleh':