Mahkamah Agung (MA) menolak judicial review Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) terhadap Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Menurut MA, asumsi pemohon, yang menilai Permendikbud melegalisasi zina, adalah kesimpulan yang terburu-buru.
Oleh sebab itu, MA menyatakan Permendikbud tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sudah sesuai dengan tata urutan perundangan di Indonesia.
"Jadi adanya asumsi bahwa frasa 'tanpa persetujuan korban' dalam Permendikbud 30 Tahun 2021 merupakan upaya legalisasi perzinahan dan seks bebas adalah asumsi yang out of the blue alias kesimpulan yang terburu-buru," demikian bunyi putusan MA yang dikutip detikcom, Senin (27/6/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putusan itu diketok oleh ketua majelis Supandi dengan anggota Yodi Martono Wahyunadi dengan anggota Is Sudaryono. Majelis menyatakan yang menjadi objek uji materi ini bukan mengatur persetujuan dalam aktivitas seksual (sexual consent), melainkan persetujuan korban (victim's consent) dalam kejadian kekerasan seksual.
Berikut ini sebagian pertimbangan MA menolak judicial review itu:
1. Dari perspektif hukum pidana, persetujuan atau izin merupakan salah satu prinsip penting yang menjadi dasar untuk menetapkan apakah satu perbuatan atau tindakan bisa disebut sebagai perbuatan pidana atau bukan. Satu perbuatan atau tindakan disebut sebagai perbuatan pidana, antara lain, jika tindakan itu mendatangkan kesengsaraan, kerugian, penderitaan, kerusakan terhadap orang lain. Namun tidak semua tindakan yang berdampak kesengsaraan itu disebut perbuatan pidana. Ada perbuatan yang menimbulkan kesengsaraan, namun tidak masuk dalam perbuatan pidana, yaitu apabila ada unsur kerelaan atau persetujuan. Dalam hukum pidana dikenal satu asas yang menyatakan bahwa "kerelaan atau persetujuan menghapuskan elemen perbuatan pidana".
2. Persetujuan atau kerelaan yang dimaksud dalam hukum adalah perbuatan yang dilakukan tanpa ada paksaan atau perbuatan yang dampaknya dikehendaki oleh kedua belah pihak, termasuk perbuatan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Contoh yang sederhana adalah pertarungan dimana kedua belah pihak sepakat beradu tanding dengan segala konsekwensi yang disadarinya. Dalam hal ini pihak yang mengalami kerugian, kesengsaraan bahkan kematian tidak bisa menuntut hukuman pidana, sebab perbuatan itu bukanlah perbuatan pidana karena telah ada persetujuan atau dampak dari tindakan itu telah disadarinya. Konsep persetujuan ini berhubungan dengan konsep "Tanpa paksaan" sebagaimana disebut di dalam beberapa pasal pasal KUHP. Pasal 285 misalnya menekankan adanya " memaksa melakukan persetubuhan" untuk menyebut sebuah tindakan dianggap sebagai perkosaan yang dapat dijatuhi pidana.
Simak juga video 'Pro-Kontra Permendikbud No 30 Tahun 2021 yang Dinilai Legalkan Zina':
3. Frasa Persetujuan korban hakikatnya telah terdapat diberbagai definisi kekerasan seksual dengan bahasa yang berbeda. Mc Logan misalnya, mendefinisikan pelecehan seksual sebagai bagian dari kekerasan seksual dengan "form of unwanted verbal, non-verbal or physical conduct of a sexual nature occurs, with the purpose or effect of violating the dignity of a person, in particular when creating an intimidating, hostile, degrading, humiliating or offensive environment (Hussin Jose Hejase, Sexual Harassment in the Workplace: An Exploratory Study from Lebanon, Journal Journal of Management Research ISSN 1941-899X 2015, Vol. 7, Nomor 1, hlm 108). Mc Logan menggunakan frasa "unwanted" yang bermakna tindakan yang tidak disukai dan dibenci. Definisi yang hampir sama dikemukakan oleh EEOC yang menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah "..unwelcome sexual advances, requests for sexual favors, and other verbal or physical conduct of a sexual nature constitute sexual harassment when this conduct explicitly or implicitly affects an individual's employment, unreasonably interferes with an individual's work performance, or creates an intimidating, hostile, or offensive work environment" (James Quick dan Ann McFayden, Sexual Harassment: Have We Made Any Progress?, Journal of Occupational Health Psychology 2017, Vol. 22, Nomor 3, hlm 288).
EEOC menggunakan frasa "unwelcome" yang berarti tindakan yang tidak diinginkan. Dua frasa yang digunakan oleh dua definisi di atas hakikatnya memiliki makna yang sama dengan frasa yang terdapat dalam Permendikbud 30 Tahun 2021 yang menggunakan frasa "tanpa persetujuan Korban". Frasa "unwanted", "unwelcome", dan "tanpa persetujuan Korban" menunjuk pada makna yang sama, yaitu pilihan korban untuk melindungi hak-hak asasinya dan juga menjaga martabat kemanusiannya;
4. Jadi Frasa "tanpa persetujuan korban" di dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) 30 Tahun 2021 dimaksudkan untuk menjaga privasi dan hak individu korban. Frasa "tanpa persetujuan korban" di dalam Permendikbud 30 Tahun 2021 juga adalah upaya untuk membedakan hal-hal mana saja yang dapat disebut sebagai tindakan yang ditindaklanjuti oleh Tim Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual secara langsung maupun tidak;
5. Pemaknaan yang keliru terhadap kata "persetujuan" menjadikan hal ini dianggap konotatif dan erat dengan perzinaan. Permendikbudristek 30/2021 bukan mengatur persetujuan dalam aktivitas seksual (sexual consent), melainkan persetujuan korban (victim's consent) dalam kejadian kekerasan seksual. Jadi adanya asumsi bahwa frasa "tanpa persetujuan korban" dalam Permendikbud 30 Tahun 2021 merupakan upaya legalisasi perzinahan dan seks bebas adalah asumsi yang out of the blue alias kesimpulan yang terburu-buru. Sebab, sturan mengenai perzinahan dalam hukum Indonesia telah banyak diatur di dalam ketentuan lain semisal aturan larangan melakukan tindak pidana perzinahan, tindak pidana pelecehan seksual, aturan perlindungan anak, pelarangan prostitusi, maupun human trafficking;