Jakarta -
Pemerintah belum juga membuka draf terbaru Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) ke publik. Ada beragam alasan mengapa draf terbaru itu belum juga dibuka pemerintah.
Sebagai informasi, sejumlah pasal dalam RKUHP yang pernah dibahas pada 2019 ini menuai kritikan. Antara lain, pasal soal penghinaan pemerintah.
Aturan itu tertuang dalam Pasal 240 draf Rancangan KUHP yang didapatkan dari Kemenkumham sebagaimana dikutip detikcom:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap Orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Lalu apa yang dimaksud kerusuhan?
"Yang dimaksud dengan 'keonaran' adalah suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang (anarkis) yang menimbulkan keributan, kerusuhan, kekacauan, dan huru-hara," demikian bunyi penjelasan Pasal 240 Rancangan KUHP itu.
Hukuman dinaikkan menjadi 4 tahun penjara bila penghinaan dilakukan lewat media sosial atau menyebarkannya hingga diketahui oleh umum. Hal itu diatur dalam pasal 241 yang berbunyi:
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
Pasal lain yang menuai kritik ialah pasal berisi ancaman pidana terhadap penghina DPR hingga kepala daerah. Pasal tersebut juga mengatur ancaman pidana bagi penghina polisi hingga jaksa.
Aturan itu tertuang dalam Pasal 353 ayat 1. Berikut isinya:
Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II
Lalu apa yang dimaksud penguasa umum?
"Ketentuan ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati, oleh karena itu perbuatan menghina terhadap kekuasaan umum atau lembaga tersebut dipidana berdasarkan ketentuan ini. Kekuasaan umum atau lembaga negara dalam ketentuan ini antara lain Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, polisi, jaksa, gubernur, atau bupati/walikota," demikian bunyi penjelasan Pasal 353 ayat 1 itu.
Kerusuhan dalam masyarakat bisa dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III. Namun, RKUHP menegaskan bila delik di atas adalah delik aduan, bukan delik umum.
"Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina," demikian bunyi Pasal 353 ayat 3.
Penghinaan di atas juga berlaku bagi yang menyebarkannya lewat media sosial. Pasal 354 berbunyi:
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Pemerintah pun didesak segera membuka draf RKUHP terbaru. Simak di halaman selanjutnya.
Simak juga 'Tolak RKUHP, Mahasiswa Gelar Demo di Patung Kuda':
[Gambas:Video 20detik]
Desakan Buka Draf RKUHP Terbaru ke Publik
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) meminta agar draf Rancangan KUHP terbaru segera dibuka ke publik secara utuh. Apa apa alasannya?
"Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mendesak agar pemerintah membuka draf RKUHP terbaru sesuai dengan ketentuan dan tata cara dalam Permenkumham 11/2021," demikian siaran pers PSHK yang diterima detikcom, Jumat (17/6/2022).
PSHK mencatat RKUHP merupakan RUU operan (carry over) dari DPR periode 2014-2019. Atas hal itu, berlaku Pasal 71A UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 71A itu, menurut PSHK, dijabarkan secara lebih teknis dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang (Peraturan DPR 2/2020).
Dalam Pasal 110 ayat (3) Peraturan DPR 2/2020 mengatur bahwa DPR lanjut membahas RUU operan dalam pembicaraan tingkat I dengan menggunakan surat presiden dan daftar inventaris masalah (DIM) yang sudah ada pada DPR periode keanggotaan sebelumnya. Bagaimana dengan RKUHP?
"Status RKUHP pada pembahasan di DPR periode 2014-2019 memang sudah di tahap akhir pembicaraan tingkat I, namun statusnya kini pemerintah mengajukan perubahan DIM kepada DPR," ujar PSHK.
Perubahan DIM yang memuat 14 isu krusial tersebut sudah mendapat persetujuan DPR. Oleh karena itu, pembicaraan tingkat I semakin wajib untuk dilakukan oleh DPR sesuai dengan prosedur legislasi.
"Setidaknya untuk membahas DIM perubahan dari pemerintah tersebut. Karena adanya perubahan DIM ini, RKUHP tidak dapat langsung diteruskan oleh DPR untuk mendapatkan pengesahan di pembicaraan tingkat II," urai PSHK.
"PSHK mendesak agar DPR dan pemerintah melakukan pembicaraan tingkat I terhadap keseluruhan draf, khususnya ketentuan-ketentuan baru dalam RKUHP yang sudah diajukan oleh pemerintah dan DPR mendengarkan, mempertimbangkan, dan memberikan respons atas aspirasi yang diajukan oleh masyarakat, terutama kelompok rentan dan kelompok yang akan terdampak dengan ketentuan dalam RKUHP," demikian permintaan PSHK.
Simak ragam alasan pemerintah mengapa belum membuka draf RKUHP terbaru di halaman selanjutnya.
Ragam Alasan Pemerintah
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej meminta publik bersabar. Dia mengatakan ada proses yang harus dihormati bersama.
"Bukannya kami tidak mau membuka draf tersebut kepada publik, tapi ini ada proses yang harus dihormati bersama," kata Eddy dalam diskusi daring dan luring yang disiarkan di YouTube, Kamis (23/6/2022).
Eddy kemudian mencontohkan saat memimpin tim pemerintah dalam RUU TPKS. Eddy mengaku tiap malam diteror untuk membuka draf.
"Tapi kita tahu proses, tahu hukum. Sebelum naskah itu diserahkan ke DPR, kita tidak akan membuka ke publik," ujar Eddy.
Dia berjanji draf RKUHP terbaru akan dibuka ke publik usai diserahkan ke DPR. Dia mengatakan pemerintah masih membaca detail draf agar tidak ada kesalahan.
"Sampai hari ini tim pemerintah masih membaca ulang. Kita tidak mau apa yang pernah terjadi dalam UU Ciptaker terulang. Malu, ini ada puluhan guru besar hukum pidana, kemudian tidak membaca teliti. Jadi kita baca teliti betul, kita serahkan ke DPR, baru kita buka ke publik," ucap Eddy.
Eddy menyatakan menerima semua masukan dari masyarakat. Dia mengatakan pemerintah tak ingin menyalahi aturan dalam pembuatan undang-undang.
"Kalau hari ini kita serahkan kemudian masih perubahan itu nanti kita dicaci maki lagi, ini yang kita terima tidak sama dengan yang kita omongkan, jadi maju kena mundur kena. Tapi saya pahami itu lah. Apalagi saya dalam sisi pemerintah, pemerintah itu bertindak benar saja salah, apalagi salah. Jadi mohon bersabar," pungkas Eddy.
Alasan lainnya ialah masih banyak typo alias salah ketik dalam draf RKUHP terbaru. Dia mengatakan tim dari pemerintah sedang berupaya menyisir draf RKUHP agar tak ada typo.
"Mengapa kita belum serahkan? Itu masih banyak typo. Dibaca, kita baca," ujar Eddy.
"Jadi misalnya gini. Kan ada pasal yang dihapus. Bayangkan kalau pasal dihapus harus dia berubah semua. Misalnya begitu ada pasal yang dihapus, tiba-tiba gini ya, 'sebagaimana yang dimaksud pasal sekian'. Padahal kan pasalnya jadi dihapus, hilang," sambungnya.
Eddy mengatakan pemerintah juga masih melakukan sinkronisasi batang tubuh dan penjelasan dalam draf RKUHP. Dia mengatakan hal itulah yang membuat draf RKUHP belum diserahkan kepada DPR.
"Jadi ada perubahan substansi, ada soal typo, ada soal rujukan dan ada soal sinkronisasi antara batang tubuh dan penjelasan. Memang belum ke DPR. Masih kita bersihkan," jelas Eddy.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini