Pernikahan siri sejatinya tidak diakui oleh negara. Hal ini berbuntut pada hak-hak keperdataan oleh keturunannya.
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate yang dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com Berikut pertanyaan lengkapnya:
Assalamu'alaikum
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya muslim menikah dengan seorang laki-laki status perjaka tetapi sudah mempunyai anak 3 anak (2 laki-laki dan 1 perempuan) hasil pernikahan siri dengan wanita lain. Tetapi ia sudah berpisah sebelum menikah dengan saya.
Yang mau saya tanyakan adalah apa anak-anak dari istri sirinya berhak menerima warisan dari harta yang didapat setelah menikah dengan saya?
Nb: saya tahu suami sudah punya anak setelah menikah.
Terima kasih.
Untuk menjawab masalah di atas, tim detik's Advocate meminta pendapat hukum advokat Rizky Rahmawati Pasaribu, SH.,LL.M. Berikut jawaban lengkapnya:
Wa'alaikumsalam warrahmatullahi wa barakatuh.
Terima kasih atas pertanyaan anda.
Berdasarkan pasal 42 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menyatakan bahwa:
"Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah."
Perkawinan yang sah yang dimaksud adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 2 UU Perkawinan).
Sehingga, perkawinan yang dilakukan secara siri (yaitu hanya secara agama saja dan tidak dicatatkan secara hukum) tidak termasuk dalam suatu perkawinan yang sah.
Dengan demikian maka sesuai dengan ketentuan pasal 42 UU Perkawinan, anak yang dilahirkan dari perkawinan siri tidak termasuk dalam kriteria sebagai anak sah.
Anak tersebut tidak dapat menjadi ahli waris dari ayahnya tersebut, kecuali ayahnya telah melakukan permohonan pengakuan anak di pengadilan.Rizky Rahmawati, advokat |
Selanjutnya pengaturan mengenai kedudukan anak yang dilahirkan diluar perkawinan sah diatur dalam pasal 43 ayat (1) jo pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yaitu:
"Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya."
Untuk menjawab pertanyaan anda berkaitan dengan waris, saya akan menjawab berdasarkan hukum islam. Sesuai dengan ketentuan pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI),
"Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. "
Maka apabila kembali kita melihat ketentuan pasal 43 UU Perkawinan dan pasal 100 KHI, di mana anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan hukum atau hubungan nasab hanya dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, maka anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya.
Sehingga anak tersebut tidak dapat menjadi ahli waris dari ayahnya tersebut, kecuali ayahnya telah melakukan permohonan pengakuan anak di pengadilan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Rizky Rahmawati Pasaribu,SH.,LL.M
Law Office Amali & Associates
Simak juga 'Jalan Terjal Anak di Luar Nikah Menggugat Hak ke Ayah Biologis':
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik didetikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembacadetikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum waris, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
![]() |
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.