Jakarta -
Pengadilan Tipikor Jakarta menggelar sidang lanjutan kasus suap berkaitan dengan dana pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Kolaka Timur 2021. Saat persidangan, jaksa KPK menyoroti berita acara pemeriksaan (BAP) saksi bernama Marisi Parulian terkait sikap mantan Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian Noervianto, yang enggan menandatangani pengajuan dua dana pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dua daerah.
Jaksa KPK, Kamis (23/6/2022), juga mencecar terkait BAP saksi yang mengaku mendengar informasi adanya permintaan fee 2,5 persen dalam pengajuan dana PEN. Diketahui, Marisi saat ini menjabat Kepala Biro Keuangan dan Aset Sekretariat Jenderal (Setjen) Kemendagri. Sebelumnya, dia menjabat Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah (FDPPD).
Awalnya, jaksa membacakan BAP Marisi menjelaskan tentang sikap Ardian yang enggan menandatangani permohonan pinjaman PEN daerah Enrekang dan Bone tahun 2021. Berikut BAP-nya:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
BAP 24: Apakah M Ardian Noervianto selaku Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri pernah tidak mau menandatangani konsep surat Pemda kepada Kemendagri terkait usulan PEN Pemda yang saudara ajukan. Apa saja serta bagaimana kronologinya?
Jawaban: M Ardian Noervianto selaku Dirjen pernah tidak menandatangani konsep surat dirjen pemda kepada Kemendagri, dan membubuhkan paraf pada konsep surat pertimbangan Mendagri terhadap usulan PEN yang saya ajukan:
a. Sekitar akhir tahun 2020 pada saat kami ajukan konsep surat pinjaman PEN pada Pemda Enrekang. M Ardian Noervianto tidak mau menandatangani atau membubuhkan parafnya. Saya tidak tahu apa alasannya, dari surat tersebut tidak dikembalikan ke kami. Saat itu kami mencoba mengusulkan kembali, namun tetap tidak ditandatanganinya.
b. Sekitar pertengahan 2021 saat kami mengajukan surat Pemda dalam konsep surat pertimbangan Mendagri terkait surat pinjaman pada Pemda Bone, dan M Ardian tidak mau menandatangani atau bubuhkan parafnya. Saya tak tahu apa alasannya, tapi surat tersebut hanya disimpan dan tidak diturunkan ke kami kembali, saat itu saya mencoba usulkan kembali namun tetap tidak di tandatangani.
Saya tidak tahu mengapa M Ardian tidak menandatangani konsep surat Dirjen Keuda kepada Bone ini dan membubuhkan paraf terhadap usulan PEN Pemda yang saya ajukan tersebut, dan dia tak pernah jelaskan ke saya mengapa tak mau menandatanganinya. Namun karena dia memiliki kewenangan menandatangani atau tidak menandatangani, maka saya selaku pelaksana tidak mungkin memaksakan dia selaku pimpinan untuk menandatanganinya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
Marisi pun mengakui dan membenarkan BAP tersebut. Marisi juga mengatakan dia pernah bertanya ke Ardian terkait alasan tidak menandatangani pengajuan dana PEN. Tapi dia tidak mendapat jawaban pasti.
"Kami tanyakan (alasan tidak menandatangani), kata beliau 'nanti'," ujar Marisi saat bersaksi.
"Kalau dana PEN Kolaka kan 2 September, apa diterima apa ada juga disimpan Ardian sehingga tak diparaf?" tanya jaksa KPK.
"Untuk Kolaka kami langsung," jawab Marisi.
"Setahu Saudara Kolaka termasuk cepat ya?" tanya jaksa lagi.
"Jika dokumen lengkap, cepat," kata Marisi.
Info Permintaan Fee 2,5 Persen
Lebih lanjut, jaksa juga mengkonfirmasi tentang adanya permintaan fee 2,5 persen ke daerah yang mengajukan dana PEN. Marisi mengaku pernah ditanya temannya sesama PNS di Pemkab Wajo, Sulsel, perihal informasi itu.
Berikut BAP-nya:
Pertanyaan: apa yang Saudara ketahui terkait informasi Pemda diminta 2,5 persen oleh dirjen terkait PEN daerah?
Jawaban: saya pernah dapat informasi dari teman-teman saya yang dinas di Pemkab Wajo, bahwa dalam ajukan PEN mereka menerima info Dirjen meminta fee 2,5 persen. Saat itu saya jelaskan ke teman-teman saya bahwa tidak ada permintaan fee.
Marisi mengaku pernah mendengar informasi itu, dia juga membenarkan BAP itu. Dia mengatakan teman yang mengkonfirmasi itu temannya dari Pemkab Wajo bernama Susilawati.
"Teman kami dari Wajo, menyampaikan informasi untuk pinjaman ada permintaan 2,5 persen, itu dari teman saya Susilawati," jelasnya.
 Mantan Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Keuda Kemendagri) M Ardian Noervianto (MAN). (Azhar Bagas Ramadhan/detikcom) |
"2,5 persen ini permintaan dari terdakwa apa gimana?" tanya jaksa.
"Kami nggak tahu. Hanya disampaikan untuk urus permintaan PEN apa benar ada permintaan, kami sampaikan tidak ada terkait dengan permintaan 2,5 persen," tegas Marisi.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
Respons M Ardian
M Ardian, yang duduk sebagai terdakwa, menjelaskan alasan dia enggan menandatangani dana PEN Enrekang dan Bone. Ardian mengatakan saat itu dia enggan menandatangani karena ada yang 'menjual' namanya.
"Kenapa saya tunda Enrekang, Bone. Saya minta tolong Bu Direktur menyelidiki karena ada dugaan menjual nama saya meminta fee. Mungkin Bu Direktur lupa," ujar Ardian.
Dakwaan Ardian
Mantan Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian Noervianto didakwa menerima suap Rp 2,405 miliar dari Bupati Kolaka Timur Andi Merya dan LM Rusdianto Emba. Ardian didakwa menerima suap berkaitan dengan dana pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Kolaka Timur 2021.
"Terdakwa M Ardian Noervianto bersama-sama dengan Laode M Syukur dan Sukarman Loke menerima hadiah atau janji, yakni menerima uang seluruhnya Rp 2.405.000.000 atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut dari Andi Merya selaku Bupati Kolaka Timur dan LM Rusdianto Emba," ujar jaksa KPK saat membaca dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Kamis (16/6).
Sukarman Loka adalah Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM Kabupaten Muna. Sedangkan Laode adalah Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna.
Ardian didakwa bersama-sama Lode dan Sukarman melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 juncto Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini