Alasan Lengkap Anwar Usman Nilai Dirinya Tak Perlu Mundur dari Ketua MK

Andi Saputra - detikNews
Selasa, 21 Jun 2022 09:40 WIB
Jakarta -

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menilai dirinya tidak perlu mundur dari kursinya. Namun pendapat itu kalah suara dengan 8 hakim konstitusi lainnya sehingga mau tidak mau, Anwar Usman harus mundur dengan tempo paling lambat 9 bulan ke depan.

Kasus bermula saat Priyanto mengajukan judicial review UU MK soal perubahan masa jabatan hakim konstitusi. UU itu mengubah periode jabatan hakim konstitusi, dari 5 tahunan menjadi 15 tahun atau sudah mencapai 70 tahun. Atas perubahan itu, muncul masa transisi bagi hakim konstitusi aktif.

Muncullah Pasal 87 a dan 87 b.

Pasal 87 huruf a UU 7/2020:

"Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini."

Pasal 87 huruf b UU 7/2020:

Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun."

Nah, 8 hakim konstitusi sepakat menghapus Pasal 87 huruf a sehingga Anwar Usman dan Waka MK Aswanto harus mundur. Namun Anwar Usman menilai pasal 87 huruf a tidak perlu dihapus.

"Seharusnya Mahkamah menjatuhkan putusan dengan mendasarkan kepada setidaknya dua hal, yaitu: 1) penerapan prinsip atau kaedah pembentukan peraturan perundangan-undangan yang baik; dan 2) penerapan prinsip kepastian hukum yang adil, sekaligus prinsip kesamaan di hadapan hukum terhadap pemberlakuan sebuah norma," kata Anwar Usman yang tertuang dalam putusan MK sebagaimana dikutip detikcom, Selasa (21/6/2022).

Menurut Anwar Usman, norma di dalam suatu pembentukan peraturan perundang- undangan, adalah suatu sistem yang saling melengkapi satu sama lain. Tidak boleh di dalam pembentukan sebuah undang-undang ada norma yang justru menegasikan norma lainnya.

"Jika hal tersebut terjadi, maka dapat disimpulkan bahwa penyusunan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut keluar atau tidak sesuai dengan kaedah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik," urai Anwar Usman.

Demikian pula halnya terhadap kedudukan ketentuan peralihan suatu undang-undang. Ia tidak memiliki fungsi untuk menegasikan suatu norma di dalam ketentuan pokok UU dimaksud, melainkan hanya untuk menjaga proses transisional keberlakuan suatu UU, agar dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan dan kesinambungan, dari keberlakuan UU yang lama terhadap UU yang baru.




(asp/mae)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork