Jaksa penuntut umum (JPU) mengatakan M Kace tidak bisa hadir sebagai saksi dalam sidang kasus penganiayaan dengan terdakwa mantan Kadiv Hubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte hari ini. Jaksa menyebut Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat belum bisa mengeluarkan Kace dari tahanan.
Hal itu diungkapkan jaksa dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jaksel, Kamis (16/6/2022). Jaksa menyampaikan surat dari PT Jawa Barat yang menerangkan Kace sedang menunggu sikap dari jaksa penuntut umum terkait kasus penistaan agama. Diketahui, dalam kasus itu, Kace menjadi terdakwa dan telah divonis bersalah.
"Izin Yang Mulia terkait dengan korban yang sebagaimana diketahui, kalau putus tanggal 6 Juni 2022 sehingga kami mendapat peraturan sah dari Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang menyampaikan bahwa tidak diberi kewenangan untuk mengeluarkan penetapan karena dari masing-masing pihak baik dari jaksa penuntut umum maupun terdakwa belum nyatakan sikap kasasi," kata jaksa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jaksa mengatakan M Kace tidak dalam kondisi sakit. M Kace absen sidang karena PT Jabar sedang menunggu sikap atas putusan banding Kace dalam kasus penistaan agama. Jaksa menyatakan sudah suatu keharusan untuk patuh terhadap ketetapan hakim dan keputusan pengadilan.
"Sebenarnya saksi M Kosman sebenarnya tidak sakit, tetapi mengingat, tugas penuntut umum berdasarkan KUHAP melaksanakan ketetapan hakim dan melaksanakan keputusan pengadilan, terkait saksi M Kosman dia sebagai terdakwa dalam perbuatan pidana sebagaimana tang kita ketahui telah putus tanggal 6 Juni oleh PT Jabar tentunya PT jabar bukan karena alasan Kace sakit atau pun tidak mau jadi saksi, tetapi kita menghormati proses yang sesuai dengan KUHAP," ujar jaksa.
Ketua majelis hakim Djuyamto lalu menyatakan jaksa memiliki kewenangan penuh untuk menghadirkan saksi di muka persidangan. Sebab, jaksa telah meminta agar perkara ini dilanjutkan ke tahap pembuktian.
"Kita kembali pada asas dari jaksa penuntut umum bahwa kewajiban saksi datang adalah kewajiban jaksa penuntut umum, karena konteksnya saudara yang mengajukan perkara ini pembuktian. Kedua kita tunggu terkait proses bandingan tapi majelis tetap sesuai dengan sikap awal hari ini periksa saksi," kata hakim.
Djuyamto kemudian mempersilakan Napoleon untuk menanggapi perihal ketidakhadiran Kace. Napoleon meminta hakim meniadakan keterangan Kace sebagai pelapor karena sudah absen sidang sebanyak 3 kali.
"Mengingat sudah ketiga kali saudara Kace tidak hadir, saya sebagai terdakwa mohon kepada majelis hakim untuk meniadakan keterangan saksi Kace sebagai pelapor, karena dia tidak merasa sidang ini penting, lari, pergi," kata Napoleon.
"Kami tidak bersedia hadir di sini menjadi terdakwa untuk kasus seperti ini. Maka itu, kami mohon kepada yang mulia, asas pengadilan murah singkat cepat," imbuhnya.
Simak juga video 'Hakim Ketua Tak Hadir, Sidang Kasus Penganiayaan M Kace Ditunda':
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Hakim kemudian menentukan sikap. Hakim mengatakan pihaknya akan tetap mewajibkan penuntut umum untuk menghadirkan Kace. Jika tak kunjung hadir, majelis hakim akan menggunakan upaya paksa sesuai dengan hukum acara.
"Tentu sebagaimana, nanti peradilan bisa dihadirkan secara paksa, apa yang disediakan oleh hukum acara majelis akan gunakan," ujar hakim Djuyamto.
Diketahui, hukuman 10 tahun bui bagi M Kace disunat di kasus penistaan agama. Vonis 10 tahun itu dipangkas menjadi 6 tahun penjara.
Hal itu sesuai dengan vonis yang dibacakan hakim tinggi Pengadilan Tinggi (PT) Bandung pada Senin (6/6). Vonis dibacakan hakim yang diketuai oleh Kharleson Harianja.
"Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan pidana selama enam tahun," ucap hakim seperti dikutip dari detikJabar.
Dalam putusannya, hakim menyatakan menerima banding yang diajukan oleh M Kace melalui kuasa hukumnya. Putusan ini sekaligus mengubah vonis yang diberikan di tingkat pertama, yakni PN Ciamis yang menghukum M Kace dengan hukuman 10 tahun bui.
Kendati demikian, hakim menyatakan M Kace tetap terbukti bersalah melakukan penyiaran berita atau pemberitaan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat. Dia dikenai Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1964 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
"Menetapkan pidana yang dijatuhkan dikurangkan dari masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani terdakwa," katanya.