Lagi dan lagi KPK harus gigit jari. Tuntutan jaksa KPK tak mampu membuktikan adanya tindak pidana korupsi.
Adalah seorang bernama Samin Tan yang berhasil mengukuhkan diri melawan KPK. 'Crazy rich' Samin Tan itu sejatinya telah divonis bebas pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta. KPK yang tidak terima lantas mengajukan kasasi, tetapi kandas di Mahkamah Agung (MA).
Ini merupakan kesekian kalinya tuntutan KPK tidak terbukti di meja hijau. Dalam rangkaian perkara yang serupa sebelumnya, KPK juga gigit jari karena tak bisa membuktikan adanya kejahatan ketika seorang Sofyan Basir divonis bebas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk menyegarkan ingatan, mari kita bahas terlebih dulu bagaimana perkara yang pernah menjerat Sofyan Basir.
Sofyan Basir
Semuanya bermula pada Juli 2018 ketika tim KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap beberapa orang. Saat itu tebersit kabar seorang anggota DPR aktif dari Partai Golkar terjaring KPK. Dialah Eni Maulani Saragih, yang saat itu bertugas di Komisi VII DPR yang membidangi energi.
Dalam waktu 1x24 jam setelahnya, KPK yakin menetapkan dua tersangka. Eni menjadi salah satunya, sedangkan seorang lagi adalah pengusaha bernama Johanes Budisutrisno Kotjo.
Duduk persoalannya saat itu dijelaskan bahwa Kotjo adalah pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd (BNR), yang menjadi induk usaha PT Samantaka Batubara. Dengan kendaraan bisnisnya itu, Kotjo turut menggandeng investor asal China bernama China Huadian Engineering Company Ltd (CHEC). Tujuannya, Kotjo ingin mengerjakan proyek independent power producer Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (IPP PLTU MT) Riau-1.
Namun keinginan Kotjo terhambat lantaran proses pendekatannya dengan PT PLN selaku pemilik proyek terkendala. Kotjo pun sowan ke kawan lamanya yang memang bukan nama asing, yaitu Setya Novanto. Saat itu pula Novanto menjabat Ketua DPR. Dari obrolan dua sahabat lama itu, nama Eni muncul dari Novanto untuk membantu Kotjo bertemu langsung dengan Sofyan sebagai Direktur Utama PT PLN.
Ternyata ada maksud lain di balik urusan bisnis. Kotjo sudah menyiapkan catatan pendanaan yang akan dibagikannya ke sejumlah orang bila proyek itu berhasil. Di tengah perjalanan, Novanto terjerat kasus di KPK. Eni, yang merasa bergantung pada Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar, berpindah haluan ke Idrus Marham sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Golkar.
Singkat cerita, Eni menerima suap dari Kotjo. Belakangan, Idrus turut dijerat KPK mengarahkan suap tersebut untuk kepentingan partai. Hukuman bagi tiga serangkai itu sudah dibacakan. Namun hanya Eni dan Kotjo yang vonisnya telah berkekuatan hukum tetap, sedangkan Idrus masih berjuang mengupayakan kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Lalu, apa hubungannya dengan Sofyan?
![]() |
Dalam surat dakwaan ketiga orang di atas, nama Sofyan tertulis jelas mengikuti berbagai pertemuan untuk kepentingan proyek. Pembicaraan demi pembicaraan yang muncul pada pertemuan itu terkuak dalam persidangan. KPK menangkap apa yang terjadi dalam persidangan.
Pada 23 April 2019, KPK melalui wakil ketuanya saat itu, Saut Situmorang, menyebut Sofyan diduga turut serta membantu Eni mendapatkan suap dari Kotjo. Saut juga menyebut Sofyan menerima janji berupa commitment fee atau uang komitmen. Sofyan resmi menjadi tersangka.
Waktu bergulir hingga pada Juni 2019 Sofyan duduk sebagai pesakitan. Sofyan didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 11 juncto Pasal 15 UU Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.
"Dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan," ucap jaksa KPK saat membacakan surat dakwaan dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (24/6/2019).
Sejatinya, ada pasal yang termasuk jarang digunakan KPK, yaitu Pasal 15 UU Tipikor. Berikut ini isinya:
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Persidangan demi persidangan terlewati hingga suatu pagi menjelang pembacaan vonis pada 4 November 2019 seorang Sofyan menyampaikan harapan. Dia merasa apa yang dituntutkan jaksa kepadanya tidaklah tepat.
"Ya bebas harapannya, ya," kata Sofyan.
Dan benar saja, beberapa jam setelahnya hakim membacakan vonis bebas untuk Sofyan. Segala dakwaan KPK yang disusun itu akhirnya dimentahkan oleh hakim. Menurut majelis hakim, Sofyan tidak terbukti melakukan perbuatan pidana.
"Mengadili menyatakan Terdakwa Sofyan Basir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dakwaan pertama dan kedua," kata hakim ketua Hariono saat membacakan amar putusan dalam sidang.
Kedua tangan Sofyan Basir menengadah seraya memanjatkan doa. Vonis bebas dari ketokan palu hakimlah yang memang Sofyan dambakan.
"Sekali lagi saya bersyukur kepada Allah, kepada pemerintah, dan semua pihak yang membantu proses ini sehingga bebas," kata Sofyan selepas pembacaan vonis kepadanya.
Mantan Direktur Utama PT PLN itu lolos dari tuntutan jaksa KPK. Dalam lembar tuntutan tersebut, jaksa meminta majelis hakim menghukum Sofyan dengan pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.
Bebasnya Sofyan membuat jaksa terperangah. Namun kesempatan untuk mengajukan banding atas vonis itu tetap membuat jaksa istikamah.
"Yang jelas, kami mempelajari putusan hakim dulu baru menyatakan sikap," kata Ronald Ferdinand Worotikan sebagai salah satu jaksa yang bertugas dalam persidangan itu.
Senyum Sofyan pun melebar. Langkahnya mantap keluar dari rumah tahanan KPK yang dihuninya sejak 27 Mei 2019.
Pertimbangan Hakim
Majelis hakim menyatakan bila Sofyan tidak memiliki niat melakukan perbantuan perbuatan suap antara pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo pada mantan anggota DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham. Kotjo merupakan pengusaha yang ingin mengerjakan proyek PLTU Riau-1 di PLN.
Kotjo disebut sebagai pemegang saham dari Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd yang bekerja sama dengan China Huadian Engineering Company (CHEC) untuk menggarap proyek tersebut. Sedangkan dari PLN dititahkan anak usahanya, PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) untuk proyek tersebut.
Kotjo awalnya meminta bantuan Setya Novanto sebagai Ketua DPR saat itu untuk mendekati PLN. Dari Novanto, Kotjo diperkenalkan pada Eni. Kotjo disebut memiliki catatan berisi siapa saja yang akan menerima fee atau jatah uang apabila proyek itu dikerjakannya. Dalam catatan itu, majelis hakim menyatakan tidak tercantum nama Sofyan.
"Menimbang bahwa catatan itu dari Kotjo dan pihak Setya Novanto tidak mengetahui catatan itu, sedangkan Sofyan Basir yang menandatangani (proyek) Independent Power Producer (IPPP) PLTU Riau-1 antara PT PJBI dengan BNR dan CHEC tidak tercantum atau bukan pihak yang menerima fee," kata hakim saat membacakan pertimbangan hukum dalam vonis tersebut di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (4/11/2019).
Sofyan pun disebut hakim tidak mengetahui adanya pembagian fee berdasarkan keterangannya. Keterangan itu dicocokkan pula dengan keterangan Eni dalam fakta persidangan.
"Dan terdakwa tidak mengetahui fee itu untuk siapa saja serta ke siapa saja fee tersebut akan diberikan. Hal ini sesuai terbukti dengan pernyataan Eni bahwa uang Eni dari Kotjo, terdakwa Sofyan Basir sama sekali tidak mengetahuinya," ucapnya.
Tak Ada Keinginan Sofyan Percepat Kontrak
Sofyan tercatat beberapa kali melakukan pertemuan dengan para kontraktor proyek tersebut termasuk bersama Eni. Sofyan disebut selalu ditemani Supangkat Iwan Santoso sebagai Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN.
"Menimbang bahwa terdakwa Sofyan Basir melakukan pertemuan karena ini program nasional. Hal ini sesuai dengan aturan Perpres tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nomor 3 Tahun 2016 yang telah diubah dengan Perpres Nomor 58 Tahun 2017. Jadi jelas percepatan bukan karena keinginan terdakwa dan bukan dari pesanan Eni atau Kotjo," kata hakim.
Di sisi lain Eni menerima fee dari Kotjo secara bertahap selepas penandatanganan kontrak sebesar Rp 4,75 miliar. Menurut hakim, penerimaan fee tersebut tanpa sepengetahuan Sofyan.
"Menimbang bahwa dengan demikian Terdakwa Sofyan Basir tidak terbukti melakukan pasal perbantuan sebagaimana yang didakwakan Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaan pertama dengan pasal perbantuan sebagaimana Pasal 56 ke-2 KUHP," kata hakim.
Sedangkan untuk pasal lainnya sebagaimana dakwaan kedua menurut hakim juga tidak terbukti seturut dengan pertimbangan dalam dakwaan pertama di atas. Atas hal itu majelis hakim memvonis bebas Sofyan.
"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas maka terdakwa Sofyan Basir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana perbantuan sebagaimana didakwakan jaksa penuntut umum sebagaimana dakwaan pertama dan kedua," ucap hakim.
"Menimbang karena tak terbukti dalam dakwaan pertama dan kedua maka terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan," imbuhnya.
Kasasi KPK Kandas
KPK memang pada akhirnya mengajukan kasasi tapi kandas juga. Berdasarkan info perkara MA yang dikutip detikcom, Rabu (17/6/2020), vonis itu diketok pada Selasa (16/6) sore. Duduk sebagai ketua majelis Suhadi dengan anggota Sofyan Sitompul, Krisna Harahap, Abdul Latief dan LL Hutagalung.
Dengan ditolaknya kasasi jaksa, maka putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) bergeming. Pada 4 November 2019 itu Sofyan Basir dinyatakan bebas dari semua dakwaan.
Lalu bagaimana kisah 'crazy rich' Samin Tan? Silakan ke halaman berikutnya.
Simak juga 'Eks Jubir KPK: KPK Sekarang Full of Controversy dan Banyak Gimik':
Cerita Samin Tan lebih epik. Namun, sebelum membahas perkaranya, bukankah menarik bila sedikit paham tentang penyematan 'crazy rich' padanya?
Di KPK, Samin Tan disebut sebagai pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal (PT BLEM). Usut punya usut, Samin Tan ternyata pernah masuk dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia.
Dirilis majalah Forbes pada 2011, posisi tiga besar orang terkaya tahun 2011 masih dipegang oleh Hartono bersaudara (pemilik Djarum), Susilo Wonowidjojo (Gudang Garam), dan Eka Tjipta Widjaja (Sinarmas Group).
Kekayaan ketiga orang itu naik USD 7,5 miliar menjadi USD 32,5 miliar atau 38 persen dari total kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia yang masuk dalam daftar Forbes tersebut.
Kekayaan 40 orang terkaya Indonesia yang masuk dalam daftar tersebut mencapai USD 85,1 miliar atau naik 19 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Lantas di mana posisi Samin Tan?
Dari daftar itu, Samin Tan berada di posisi ke-28. Dia disebut memiliki kekayaan USD 940 juta atau sekitar Rp 13 triliun.
Masih dari daftar yang sama, Samin Tan berada satu peringkat di bawah Ciputra. Namun dia mengalahkan Aburizal Bakrie, yang berada di posisi 30 dan Mochtar Riady di posisi 38.
Kini mari bahas perkara yang pernah menjerat Samin Tan.
Samin Tan menyandang status tersangka di KPK sejak 15 Februari 2019. Pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal itu diduga memberi suap Rp 5 miliar kepada Eni Maulani Saragih, yang kala itu aktif sebagai anggota DPR.
Samin diduga memberi suap kepada Eni agar membantu anak perusahaan miliknya, PT Asmin Kolaindo Tuhup (AKT), yang sedang bermasalah. KPK mengatakan permasalahan itu terkait perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) generasi III di Kalimantan Tengah antara PT AKT dan Kementerian ESDM.
KPK menduga saat itu Eni, sebagai anggota DPR di Komisi Energi, menyanggupi permintaan bantuan Samin Tan. Eni diduga berupaya mempengaruhi pihak Kementerian ESDM, termasuk menggunakan forum RDP dengan Kementerian ESDM, di mana posisi Eni adalah sebagai anggota Panja Minerba di Komisi VII DPR.
Mangkir dari Panggilan KPK
Namun, setelah itu, Samin Tan beberapa kali mangkir dari panggilan KPK. Akhirnya KPK memasukkan nama Samin Tan ke daftar pencarian orang (DPO) sejak 6 Mei 2020.
Diciduk KPK
Sejak saat itu, Samin Tan menyandang status buron KPK. Setelah itu, hampir setahun kemudian atau tepatnya pada 5 April 2021, Samin Tan ditangkap KPK saat sedang ngopi-ngopi di salah satu kafe di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
"Tim bergerak menuju ke sana, ke kafe tersebut, dan benar ada ditemui di sebuah ruangan tersangka SMT (Samin Tan) ini dengan beberapa orang," ucap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan pada Rabu (7/4/2021).
Samin Tan Divonis Bebas
KPK lalu memproses hukum Samin Tan hingga diadili di meja hijau. Samin Tan divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Samin Tan tidak terbukti memberi suap Rp 5 miliar kepada mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih.
"Mengadili, menyatakan Terdakwa Samin Tan tidak terbukti secara sah meyakinkan telah melakukan tindak pidana pada dakwaan alternatif pertama dan kedua," kata hakim ketua Panji Surono di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakpus, Senin (30/8/2021).
"Membebaskan Terdakwa dari semua hukum tersebut. Ketiga, memerintahkan agar Terdakwa segera dibebaskan dari tahanan," lanjut hakim.
Selain itu, hakim meminta hak dan kedudukan harkat serta martabatnya dipulihkan. Hakim juga meminta jaksa KPK segera membebaskan Samin Tan.
Saat itu, Samin Tan dituntut jaksa KPK dihukum 3 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Samin Tan diyakini jaksa memberi suap Rp 5 miliar kepada mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih.
Jaksa mengatakan Samin Tan memberikan uang Rp 5 miliar agar Eni Saragih membantu Samin Tan terkait permasalahan pemutusan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) generasi III di Kalimantan Tengah antara PT AKT dan Kementerian ESDM. Uang itu diserahkan secara bertahap.
"Bahwa dengan telah beralihnya penguasaan uang sejumlah Rp 5 miliar tersebut dari Terdakwa kepada Eni Maulani Saragih melalui Tahta Maharaya, maka unsur memberi atau menjanjikan sesuatu terbukti menurut hukum," kata jaksa dalam tuntutannya.
Dalam tuntutannya, jaksa KPK meyakini Samin Tan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 64 ayat 1 KUHPidana.
Hakim menilai Samin Tan adalah korban pemerasan dari mantan anggota DPR RI, Eni Maulani Saragih.
"Terdakwa Samin Tan adalah korban dari Eni Maulani Saragih yang meminta uang untuk membiayai pencalonan suaminya sebagai calon kepala daerah di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah," ujar hakim Teguh Santoso saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (30/8/2021).
Hakim menyebut Eni Maulani Saragih tidak punya kewenangan untuk mencabut Surat Keputusan Menteri ESDM No.3174K/30/MEM/2017 mengenai terminasi perjanjian karya pengusahaan tambang batu bara (PKP2B) untuk PT Asmin Kolaindo Tuhup (AKT) yang merupakan anak perusahaan PT BLEM. Samin Tan dinilai hakim sebagai korban pemerasan.
"Sehingga Terdakwa memberikan uang ke Eni Maulani sebagai korban pemerasan," kata hakim.
Dari alasan tersebut, hakim menyatakan Samin Tan harus dibebaskan. Hakim memerintahkan jaksa memulihkan nama Samin Tan.
"Menimbang dalam putusan dimana Eni Maulani diputus melanggar Pasal 12 huruf B ayat 1 di mana Eni menerima pemberian dari Samin Tan sejumlah Rp 5 miliar oleh karenanya Terdakwa Samin Tan yang telah memberikan uang ke Eni Maulani Saragih tidak mungkin dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Karena terdakwa dibebaskan maka harus dipulihkan harkat dan martabatnya," ucap hakim.
Kasasi Ditolak MA
KPK pun mengajukan kasasi. Namun, pada akhirnya, kasasi itu hari ini ditolak oleh MA.
"Tolak," demikian bunyi putusan singkat MA yang dilansir website-nya, Senin (13/6/2022).
Duduk sebagai ketua majelis Suhadi dengan anggota Suharto dan Ansori. Putusan itu diketok pada 9 Juni 2022 dengan panitera pengganti Dwi Sugiarto.
Memang apa pertimbangan hakim yang membuat Samin Tan bebas? Simak di halaman berikutnya.
Berikut alasan MA tetap membebaskan Samin Tan sebagaimana diinformasikan jubir MA Andi Samsan Nganro kepada wartawan:
Alasan kasasi penuntut umum tidak dapat dibenarkan karena judex facti tidak salah dalam menerapkan hukum, judex facti telah mengadili Terdakwa dalam perkara a quo sesuai hukum acara pidana yang berlaku serta tidak melampaui kewenangannya;
Alasan kasasi penuntut umum pada pokoknya mengenai judex facti tidak menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya karena judex facti dalam mempertimbangkan unsur-unsur pasal yang didakwakan oleh penuntut umum yang kemudian menyatakan Terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum;
![]() |
Bahwa dari keterangan para saksi dan Terdakwa dihubungkan barang bukti diperoleh fakta:
Bahwa PT. Asmin Koalindo Tuhub (PT. AKT) dengan SK Kementrian ESDM Nomor: 3174/30/MEM/2017 tanggal 19 Oktober 2017 telah dilakukan pengakhiran (terminasi) PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Tambang Batubara), yang akibatnya PT. AKT tidak bisa lagi menambang dan menjual hasil tambang batu baranya;
Bahwa karena beban moral atas nasib 4.000 karyawannya, maka Terdakwa telah melakukan beberapa langkah antara lain melakukan upaya hukum dengan menggugat SK Kementrian ESDM melalui PTUN Jakarta namun kalah di tingkat kasasi;
Bahwa selain mengajukan gugatan hukum melalui PTUN, Terdakwa juga menemui koleganya yaitu Saksi Melchias Marcus Mekeng/ Ketua Fraksi Golkar di DPR. Terdakwa menceritakan kepada Saksi Melchias Marcus Mekeng tentang terminasi PT. AKT oleh Kementrian ESDM. kemudian Saksi Melchias Marcus Mekeng mengenalkan Terdakwa dengan Saksi Eni Maulani Saragih dan meminta Saksi Eni Maulani Saragih yang juga Anggota DPR dari Fraksi Golkar untuk menanyakan kepada Kementrian ESDM tentang terminasi PT. AKT;
Bahwa atas permintaan Saksi Melchias Marcus Mekeng tersebut, saksi Eni Maulani Saragih bersama dengan Saksi Melchias Marcus Mekeng dan Terdakwa menemui Mentri ESDM Ignatius Jonan menanyakan tentang terminasi PT. AKT dan saksi Ignatius Jonan mengatakan tetap akan menempuh jalur hukum sampai dengan mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Saksi Ignatius Jonan juga mengatakan terminasi adalah rekomendasi dari Dirjen Minerba yang menyatakan PT. AKT telah melanggar Pasal 30 dalam PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Tambang Batubara), yaitu PT. AKT telah menjaminkan PKP2B PT. AKT kepada Bank Standard Chartered Cabang Singapura;
Bahwa di antara waktu mengurus PT. AKT tersebut, Saksi Eni Maulani Saragih pernah menyampaikan kepada Saksi Melchias Marcus Mekeng, bahwa Saksi Eni Maulani Saragih membutuhkan uang yang banyak dalam rangka membiayai pencalonan suaminya sebagai Bupati Temanggung;
Bahwa kemudian antara bulan Mei 2018 s.d. Juni 2018, Saksi Eni Maulani Saragih menerima uang dari Saksi Nenie Afwani dan Saksi Indri Savatri Purnama Sari, uang diterima oleh Tahta Maharaya selaku Tenaga Ahli Saksi Eni Maulani Saragih di DPR. Uang yang diterima keseluruhannya berjumlah Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah), dengan rincian sebagai berikut:
Bahwa dari fakta pula terungkap, Terdakwa dan saksi Eni Maulani Saragih sama-sama menyatakan tidak ada deal atau kesepakatan tentang pemberian uang sejumlah Rp 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah). Saksi Nenie Afwani dan Saksi Indri Savatri Purnama dan Saksi Tahta Maharaya juga tidak memberikan keterangan yang pasti untuk apa uang diberikan kepada Saksi Eni Maulani Saragih;
Bahwa Saksi Eni Maulani Saragih sempat mengirim ucapan terimakasih melalui WA kepada Terdakwa atas uang sejumlah Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah), namun pesan tersebut tidak ditanggapi oleh Terdakwa;
Bahwa Saksi Nenie Afwani adalah Direktur PT. Borneo Lumbung Energi dan Metal (PT. BLEM), PT. BLEM sendiri adalah pemegang saham mayoritas PT. AKT. Sedangkan Terdakwa adalah fouder PT. BLEM, pernah menjadi Direktur PT. BLEM pada tahun 2010, juga pernah menjadi Direktur PT. AKT pada tahun 2008 s.d. 2009;
Bahwa berkait dengan WA dari Saksi Eni Maulani Saragih, Saksi Nenie Afwani selalu mengkomunikasikan dengan Terdakwa. Termasuk permintaan tambahan dari Saksi Eni Maulani Saragih yang Saksi Nenie Afwani tidak tahu maksudnya. Di persidangan tidak terungkap mengenai asal usul uang dan pertuntukan uang yang diberikan Saksi Nenie Afwani kepada Saksi Tahta Maharaya;
Bahwa berdasarkan fakta tersebut, oleh karena dakwaan pertama Penuntut Umum Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang PTPK juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP, pasal tersebut merupakan delik penyuapan yanng mensyaratakan adanya kesepakatan (meeting of minds) antara pemberi dan penerima suap, sedangkan dalam perkara ini antara Terdakwa dengan Eni Maulani Saragih terkait dengan pemberian uang sejumlah Rp4.000.000.000,00 tidak terungkap apakah Saksi Nenie Afwani telah diperintah oleh Terdakwa untuk memberikan uang kepada Saksi Eni Maulani Saragih, meskipun setiap komunikasi yang disampaikan selau dikomunikasi dengan Terdakwa, namun hal tersebut tidak dapat dijadikan pertimbangan saksi Nenie Afwani telah diperintah oleh Terdakwa untuk memberikan uang kepada Saksi Eni Maulani Saragih;
Dengan demikian, putusan judex facti yang membebaskan Terdakwa dari semua dakwaan telah tepat dan benar;
Alasan kasasi PU selebihnya tidak dapat dibenarkan mengenai mengenai penilaian hasil pembuktian;
Di sisi lain ada hal menarik lain terkait proses kasasi tersebut. Apa itu?
Samin Tan ternyata turun langsung menghadapi permohonan kasasi jaksa KPK atas vonis bebasnya di pengadilan tingkat pertama. Samin Tan menghadapi langsung kasasi KPK tanpa dibantu tim pengacara.
Hal itu disampaikan oleh Radhie Noviadi Yusuf. Radhie saat ini posisinya mantan pengacara Samin Tan. Dia menjadi pengacara Samin Tan saat di tingkat penyidikan hingga di persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Di proses kasasi Pak Samin Tan maju sendiri tidak pakai penasihat hukum," ujar Radhie saat dimintai konfirmasi, Senin (13/6/2022).
Radhie mengaku hanya membantu menyiapkan kontra memori kasasi. Setelah itu, Samin Tan mengurus semuanya sendiri.
"Saya hanya membantu menyiapkan kontramemori kasasi saja, yang mengajukan secara administrasi Pak Samin Tan langsung," katanya.
Respons KPK
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri lantas merespons normatif mengenai ketidakmampuan membuktikan tuntutan terhadap Samin Tan. Apa kata Ali?
"Langkah KPK untuk melakukan upaya hukum kasasi merupakan bentuk keseriusan kami untuk dapat membuktikan perbuatan Terdakwa sebagaimana alat bukti hasil penyidikan dan penuntutan," kata Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (13/6/2022).
"Meskipun demikian, KPK tentu hormati putusan majelis hakim kasasi di MA," sambungnya.
Kendati demikian, Ali berpesan agar pihak MA dapat segera mengirimkan putusan lengkap kepada KPK. Putusan itu, kata Ali, akan dikaji soal kemungkinan langkah hukum berikutnya.
"Kami berharap MA segera mengirimkan salinan lengkap putusan dimaksud. Untuk kami pelajari, apakah ada peluang dilakukannya langkah hukum berikutnya," ucap Ali.
Vonis Bebas Dinilai Wajar
Di sisi lain guru besar hukum acara pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof Hibnu Nugroho menyebut strategi KPK menjerat Samin Tan kurang jeli. Kenapa?
"Pemetaan identifikasi mungkin kurang jeli kan Samin Tan ini kan orang swasta. Di mana gratifikasinya? Nggak ada kan gitu lho. Ini yang mungkin kira-kira kurang jelilah, Saya kira KPK oke semua tapi kurang jeli memecahkan identifikasinya. Jadi karena dianya dia kan memberi itu kan kalau nggak salah hanya karena diminta, jadi kalau suap kan memang ada dua belah pihak, itu kan nggak, dia diminta, ya diberikan, nggak ketemu kan," kata Hibnu.
"Kalau gratifikasi, loh dia kan bukan penyelenggara negara. Yang kena adalah penyelenggara yang menerima dong inilah saya kira mungkin bukti-bukti dari KPK perlu dicerna kembali sebetulnya kasusnya seperti apa gitu lho. Bukti itu tidak hanya bernilai tapi bisa menggambarkan atau tidak menggambarkan adanya suatu suap, menggambarkan suatu gratifikasi kan nggak," imbuhnya.
Hibnu menilai vonis bebas Samin Tan memang sudah seharusnya diberikan. Di sini Hibnu mengingatkan KPK untuk lebih teliti dalam menerapkan pasal.
"Saya kira kalau bebas, ya memang sudah sewajarnya. Kan gitu lho. Bebas itu kan putusan bebas kan suatu putusan yang tak terbukti seperti dirumuskan dalam surat dakwaan. Jadi konteks surat dakwaan jadi background bebas, mungkin perbuatannya ada, makanya KPK perlu mengkaji kembali terhadap kasus ini, yang pas apa, pasal berapa," kata Hibnu.