Wamenkumham Prof Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan pemerintah-DPR saat ini sedang menyusun KUHP Indonesia, bukan KUHP Amerika Serikat (AS). Oleh sebab itu, nilai-nilai yang diadopsi haruslah nilai yang tumbuh dan hidup di masyarakat Indonesia, bukan mengimpor nilai-nilai asing.
"Waktu Presiden George W Bush menginvasi Irak dengan alasan mencari senjata biologis dan sekutu Amerika yang paling dekat dengan kita, Australia dan Singapura, mereka melakukan demo di depan kantor Perdana Menteri John Howard," kata Prof Edward Omar Sharif Hiariej.
Hal itu disampaikan saat menjadi dosen tamu di Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej) yang disiarkan di channel YouTube FH Unej, Kamis (2/6/2022). Hadir dalam acara itu Rektor Unej Iwan Taruna, mahasiswa Unej dan jajaran Muspida Jember.
Dalam demo itu, kata Eddy, masyarakat Australia membawa anjing. Si pendemo menempel gambar anjing di mukanya dan di muka anjing dipasang foto John Howard.
"Coba kalau ini di Indonesia, kalau tidak digeruduk massa pendukung," ucap Eddy.
Dia kemudian mengulas soal demonstrasi-demonstrasi yang sering dijalankan mahasiswa dengan aspirasi mengkritik kebebasan berekspresi yang diatur undang-undang. Eddy meminta mahasiswa menilai sebuah nilai di Indonesia harus sesuai dengan kaidah keindonesiaan.
"Jadi saya mau katakan, khususnya kepada para mahasiswa, jangan sekali-kali mengatakan, 'oh di Amerika begini, di Jerman begini'. Bukan. Kita tidak sedang menyusun KUHP Jerman, kita tidak sedang menyusun KUHP Amerika. Kita sedang menyusun KUHP Indonesia," kata Eddy yang langsung disambut tepuk tangan peserta kuliah umum itu.
"Jangan membandingkan kejahatan politik, kejahatan asusila dengan negara lain. Jangan. Itu salah betul," sambung Eddy.
Oleh sebab itu, pemerintah dan DPR tetap sepakat mencantumkan delik menyerang harkat dan martabat Presiden di RUU KUHP. Sedikitnya ada tiga alasan.
Pertama, di dalam KUHP di seluruh dunia, ada bab yang berjudul penghinaan terhadap martabat kepala negara asing.
"Masuk di akal sehat nggak, kepala negara asing dilindungi, kepala negara sendiri tidak dilindungi?" ucap Eddy retoris.
Kedua, RUU KUHP sama sekali tidak akan menghidupkan pasal yang dimatikan MK. Sebab, yang dicabut MK adalah pasal penghinaan presiden dalam konteks delik biasa. Di dalam RUU KUHP sudah jadi delik aduan.
"Yang prodemokrasi bilang 'itu kan sama saja'. Ya itu yang nggak tahu, nggak ngerti hukum pidana yang jawab gitu. Delik aduan dan delik biasa itu hal yang sangat berbeda secara prinsip. Yang mengadu itu harus presiden sendiri," beber Eddy.
Terakhir, pasal itu dinilai mengabaikan persamaan di muka hukum equality before the law. Argumen itu ditepis dengan mudah oleh Eddy.
"Alasan itu gampang sekali dibalikkan. Di KUHP di seluruh dunia, ada pasal makar, kenapa nggak dihapus saja? Kan ada pasal pembunuhan biasa? Ya memang presiden harus diistimewakan. Tidak mudah orang jadi presiden. Dalam beberapa konteks dia adalah personifikasi negara, dia harus ekstra perlindungannya," ucap Eddy.
Berikut draft RUU KUHP di isu tersebut:
Pasal 218
(1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Namun, pasal itu bisa diterapkan dengan sejumlah syarat, yaitu:
1. Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri (Pasal 218 ayat 2)
2. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. (Pasal 220 ayat 1)
3. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden. (Pasal 220 ayat 2)
Lihat juga video 'Laporkan Jenderal Dudung, Koalisi Ulama Bawa Bukti ke Puspomad':
(asp/dnu)