Mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia (Perindo) Syahril Japarin didakwa terkait kasus korupsi pengelolaan keuangan Perum Perindo tahun 2016-2019 oleh jaksa penuntut umum (JPU). Tim kuasa hukum terdakwa Sayhril Japrin, Maqdir Ismail menyoroti dakwaan jaksa.
Maqdir menyebut dakwaan JPU menyangkal fakta yang dibuat oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebab menurutnya terdakwa Syahril hanya menjabat sebagai Dirut Perum Perindo sampai tahun 2017, sedangkan dalam dakwaan tersebut kasus korupsi itu terjadi hingga tahun 2019.
"Sebagaimana kami sampaikan dalam eksepsi kami, tidak mungkin Pak Syahril itu di dakwa dengan perbuatan orang lain. Beliau itu sudah berhenti dari jabatannya pada 10 Desember 2017. Jadi tidak masuk di akal kalau dia di dakwa sampai tahun 2019. Tidak mungkin dia memiliki motif untuk korupsi dan melakukan korupsi ketika dia tidak punya jabatan lagi," kata Maqdir dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/5/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu disampaikan Maqdir seusai sidang sanggahan eksepi oleh JPU di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Selasa (24/5). Selain itu Maqdir menilai dakwaan JPU tidak membuktikan ada kerugian yang nyata selama masa Syahril menjabat jadi Direktur Utama.
"Bahkan dari pemeriksaan kepatuhan yang dilakukan oleh BPK, tidak ada kerugian negara waktu masa Pak Syahril menjadi Dirut," tuturnya.
Oleh karena itu, menurut Maqdir bila tidak ada kerugian keuangan negara sewaktu Syahril menjabat, maka menurutnya Syahril tidak dapat didakwakaan dakwaan tersebut.
"Tidak bisa, karena untuk melakukan korupsi dengan dakwaan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 harus ada kerugian keuangan negara," jelasnya.
Selain itu, Maqdir juga mempertanyakan periode perbuatan korupsi yang disangkakan terhadap Syahril. Pasalnya dalam dakwaan, jaksa menuangkan perbuatan dugaan korupsi kliennya dilakukan pada tahun 2016 - 2019. Sedangkan Syahril masa jabatan sebagai DirutPerumPerindoberakhir pada Desember 2017. Sehingga, ia menilai terdakwa tak bisa didakwa atas perbuatan yang dilakukan orang lain.
Maqdir menilai dakwaan tersebut salah sasaran alias error in persona. Sebab menurutnya yang seharusnya didakwa bukanlah kliennya, melainkanPerumPerindoitu sendiri.
"Syahril Japarin ini menjabat sampai 2017, sehingga tidak mungkin dia didakwa atas perbuatan orang lain," ujar Maqdir.
Maqdir menjelaskan terkait piutang Irwan Gozali/Pramudji Chandra sebesar Rp 17.697.600.000. Kerjasama usaha antara Perum Perindo dengan Irwan Gozali/Pramudji Chandra dilakukan dalam rentang waktu 30 April 2018-21 September 2018 dan bukan pada saat Syahril menjabat.
"Ketika Ir. Syahril Japarin sudah tidak menduduki jabatan sebagai Direktur Utama Perum Perindo," ungkapnya.
Lihat juga video 'Kejagung Tetapkan Eks Dirut Perum Perindo Sebagai Tersangka Korupsi':
Selengkapnya halaman berikutnya.
Sementara itu terkait piutang PT. KBT, total piutang PT KBT sebesar Rp 40.171.720.580 dan USD 279,891.50. Sumbernya berasal dari:
a) Penjualan ikan lokal sebesar Rp 1.969.156.095,
b) Penjualan ke Eropa sebesar Rp 18.138.763.914
c) Persediaan ikan akibat gagal ekspor Rp 20.063.800.571
d) Penjualan ke AS sebesar USD 279.891,5
"Semua piutang PT KBT yang didakwakan terjadi di luar masa jabatan Ir. Syahril Japarin," tegasnya.
Lebih lanjut, piutang PT Global Prima Sentosa (PT GPS) sejumlah Rp 62.014.205.000. Bahwa semua tagihan Perum Perindo tahun 2017 sudah dibayar lunas oleh PT GPS. Maqdir mengatakan piutang yang didakwakan ternyata terjadi setelah masa jabatan Ir. Syahril Japarin. Hal tersebut menurut Maqdir tercatat dalam laporan Badan Pemeriksaan Keuangan RI (BPK) terhitung sejak tahun 2017, 2018 dan 2019.
"Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan Atas Pengelolaan Pendapatan, Biaya dan Investasi Tahun Buku, 2018 dan 2019 (s.d. TW.III) pada Perum Perindo yang diterbitkan BPK Nomor 39 /AUDITAMA VII/PDTT/08/2020 tanggal 31 Agustus 2020," tuntasnya.
Terangnya lagi, dalam Laporan Hasil Pemriksaan BPK dikatakan, "Perolehan laba bersih pada Tahun 2017 dan 2018 sebagian besar diperoleh dari pendapatan bunga penempatan deposito dana PMN yang mencapai Rp18 miliar pada tahun 2016 dan sebesar Rp 12 miliar pada 2017," kilahnya.
Selain itu, Maqdir mengatakan dalam dakwaan juga terdapat penyebutan identitas terdakwa yang tidak cermat. Pekerjaan terdakwa disebut sebagai Deputy Pengusahaan BP Batam, padahal menurut Maqdir, sebelum surat dakwaan tersebut disusun atau diajukan ke pengadilan, terdakwa sudah tidak lagi menjabat posisi tersebut.
Sementara sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, suatu Surat Dakwaan harus memuat identitas terdakwa secara lengkap termasuk pekerjaan tersangka, sehingga dengan demikian pekerjaan harus dijelaskan secara tepat dan benar.
"Sehingga sudah sepatutnya dakwaan dimaksud JPU dinyatakan tidak dapat diterima," kata Maqdir.
Sebelumnya, Syahril Japarin didakwa bersama sama dengan Risyanto Suanda yang menjabat sebagai Direktur Usaha Perum Perindo periode 17 Maret 2017 sampai dengan 11 Desember 2017 selanjutnya menjabat sebagai Direktur Utama Perum Perindo periode 11 Desember 2017 sampai dengan 30 September 2019, serta Mantan General Manager Strategic Business Unit (SBU) Fish Trade and Processing Perum Perindo Wenny Prihatini, Lalam Sarlam menjabat sebagai Direktur PT Kemilau Bintang Timur (selanjutnya disebut PT. KBT), Riyanto Utomo menjabat sebagai Direktur PT Global Prima Sentosa (selanjutnya disebut PT GPS), Irwan Gozali menjabat sebagai Direktur PT Samudra Sakti Sepakat (selanjutnya disebut PT SSS), dan Renyta Purwaningrum.
Para terdakwa dilakukan penuntutan dalam berkas perkara terpisah). Para terdakwa diduga melakukan korupsi dalam kurun tahun 2016-2019 di Perum Perindo.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Para terdakwa didakwa memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, yaitu merugikan kerugian keuangan negara pada Perum Perindo sebesar Rp 121.481.025.580 dan USD 279,891.50.
Para terdakwa didakwa Pasal 2 atau Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam kasus ini, Perum Perindo menerbitkan Surat Hutang Jangka Menengah atau Medium Term Notes (MTN) dan mendapatkan Dana sebesar Rp 200.000.000.000 (Rp 200 miliar) yang terdiri atas Sertifikat Jumbo MTN Perum Perikanan Indonesia Tahun 2017-Seri A dan Sertifikat Jumbo MTN Perum Perikanan Indonesia Tahun 2017-Seri B.
Awalnya penerbitan MTN itu dilakukan bertujuan untuk pembiayaan di bidang perikanan tangkap. Namun faktanya, penggunaan dana MTN Seri A dan seri B tidak sesuai peruntukkan sebagaimana prospek atau tujuan penerbitan MTN seri A dan seri B.
MTN seri A dan seri B sebagaimana maksud sebagian besar digunakan untuk bisnis perdagangan ikan yang dikelola oleh Divisi Penangkapan, Perdagangan dan Pengolahan Ikan atau Strategy Business Unit (SBU) Fish Trade and Processing (FTP) yang dipimpin oleh WP.
Pada Desember 2017, Direktur Utama Perindo berganti kepada RS yang mana pada periode sebelumnya RS merupakan Direktur Operasional Perum Perindo. RS disebut mengadakan rapat dan pertemuan dengan Divisi Penangkapan, Perdagangan dan Pengolahan (P3) Ikan atau Strategy Bussines Unit (SBU) Fish Trade and Processing (FTP) yang diikuti juga oleh IP sebagai Advisor Divisi P3 untuk membahas pengembangan bisnis Perum Perindo menggunakan dana MTN seri A dan seri B serta kredit dari bank.
Ada beberapa perusahaan dan perseorangan yang direkomendasikan oleh IP kepada Perindo untuk bekerja sama, yaitu PT Global Prima Santosa (GPS), PT Kemilau Bintang Timur (KBT), S/TK dan RP. Selain beberapa pihak yang dibawa oleh IP, ada beberapa pihak lain yang kemudian menjalin kerja sama dengan Perindo untuk bisnis perdagangan ikan, di antaranya PT Etmico Makmur Abadi, PT SIG Asia, Dewa Putu Djunaedi, CV Ken Jaya Perkara, CV Tuna Kieraha Utama, Law Aguan, Pramudji Candra, PT Prima Pangan Madani, PT Lestari Sukses Makmur, PT Tri Dharma Perkasa.
Metode yang digunakan dalam bisnis perdagangan ikan tersebut adalah metode jual-beli ikan putus. Dalam penunjukan mitra bisnis perdagangan ikan tersebut di atas, Perindo melalui Divisi P3/SBU FTP tidak ada melakukan analisis usaha, rencana keuangan, dan proyeksi pengembangan usaha. Selain itu, dalam melaksanakan bisnis perdagangan ikan tersebut, beberapa pihak tidak dibuatkan perjanjian kerja sama, tidak ada berita acara serah-terima barang, tidak ada laporan jual-beli ikan, dan tidak ada dari pihak Perindo yang ditempatkan dalam penyerahan ikan dari supplier kepada mitra bisnis Perum Perindo.
Penyimpangan dalam metode penunjukan mitra bisnis perdagangan ikan oleh Perum Perindo menimbulkan verifikasi syarat pencairan dana bisnis yang tidak benar dan menimbulkan transaksi-transaksi fiktif yang dilakukan oleh mitra bisnis perdagangan ikan Perum Perindo. Kemudian transaksi-transaksi fiktif tersebut menjadi tunggakan pembayaran mitra bisnis perdagangan ikan kepada Perum Perindo kurang lebih sebesar Rp 149.000.000.000.
Kapuspenkum Kejagung, Leonard Eben Ezer saat itu mengatakan proses penyidikan masih difokuskan kepada SBU Perdagangan Ikan, maka untuk SBU Penangkapan dan SBU Aquacultur penentuan perbuatan melawan hukum dan penentuan pertanggungjawaban hukum dilakukan seiring dengan penyidikan lanjutan.