Fadli Zon Minta Larangan Ekspor CPO Dicabut, Ini Alasannya

Fadli Zon Minta Larangan Ekspor CPO Dicabut, Ini Alasannya

Firda Cynthia Anggrainy - detikNews
Selasa, 17 Mei 2022 16:45 WIB
Politikus Gerindra Fadli Zon mengusulkan agar pemerintah memberikan gelar Kota Perjuangan kepada Bukittinggi.
Fadli Zon (Jeka Kampai/detikcom)
Jakarta -

Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon meminta kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal larangan ekspor crude palm oil (CPO) dicabut. Fadli menilai kebijakan itu mengakibatkan kerugian terutama bagi petani sawit dan produsen CPO dalam negeri.

"Selain gagal mencapai tujuannya, yaitu menurunkan harga minyak goreng eceran di dalam negeri, kebijakan tersebut kini terbukti malah mendatangkan lebih banyak lagi kerugian, baik terhadap neraca perdagangan maupun terhadap petani sawit dan produsen CPO kita," kata Fadli dalam keterangan tertulis, Selasa (17/5/2022).

Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) ini menyebut sudah mengkritisi kebijakan tersebut sejak awal. Fadli menilai biang kerok permasalahan kelangkaan minyak goreng bukan pasokan, melainkan penegakan hukum yang perlu dioptimalkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sejak bulan lalu, HKTI telah menyampaikan kepada pemerintah bahwa larangan ekspor bukanlah solusi, karena penyebab kelangkaan minyak goreng di dalam negeri bukanlah jumlah stok, melainkan soal penegakan hukum terkait kewajiban domestic market obligation (DMO). Itu sebabnya, HKTI sejak awal mendesak pemerintah segera merevisi kebijakan larangan ekspor tersebut," lanjutnya.

Fadli lantas membeberkan sejumlah alasannya menolak kebijakan larangan ekspor CPO. Menurutnya, kebijakan tersebut tak didasari diagnosis persoalan yang akurat.

ADVERTISEMENT

"Pertama, kebijakan larangan ekspor CPO berangkat dari diagnosis persoalan yang tak akurat. Sebagai gambaran, produksi CPO kita pada tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton, sementara konsumsi dalam negeri kita hanya 18,42 juta ton (39,29 persen). Di sisi lain, produksi minyak goreng sawit (MGS) pada 2021 sebesar 20,22 juta ton, sementara kebutuhan dalam negeri kita hanya 5,07 juta ton (25,07 persen)," ujarnya.

Fadli menyebut kelebihan pasokan minyak sawit selama ini diserap oleh pasar ekspor. Lantas, dia mempertanyakan penyerapan kelebihan pasokan CPO jika ekspor dilarang.

"Jadi, kelebihan pasokan minyak sawit yang ada selama ini memang diserap oleh pasar ekspor, tidak mungkin diserap semua pasar domestik. Kalau pemerintah melarang ekspor CPO dan minyak goreng, lalu sisa produksinya mau dikemanakan?" kata Ketua Badan Kerjasama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR itu.

Alasan lainnya, lanjut Fadli, kebijakan tersebut telah merugikan 3 juta petani sawit dalam negeri. Merujuk catatannya, dia menyebut penurunan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terjadi di hampir seluruh wilayah.

"Sejak kebijakan itu dirilis pada 28 April 2022, harga tandan buah segar (TBS) milik petani sawit terus merosot harganya. Penurunan harga TBS kelapa sawit ini, menurut catatan HKTI, terjadi di hampir seluruh wilayah. Di Sumatera Selatan, misalnya, harga TBS petani turun sekitar Rp 500 per kilogram. Di Riau, penurunan harga TBS mencapai Rp 1.000 per kilogram. Secara umum, penurunan harga TBS ini terjadi bervariasi antara Rp 500 dan Rp 1.500 per kilogram," ujar dia.

Simak selengkapnya di halaman berikut

Lihat Video: Protes Larangan Ekspor CPO, Petani Sawit Minta Bertemu Jokowi

[Gambas:Video 20detik]



Fadli menambahkan, kini petani sawit juga terancam tak dapat menjual hasil panennya lantaran sejumlah pabrik kelapa sawit menolak membeli TBS dari petani. "Selain harganya terus turun, para petani sawit juga kini terancam tak bisa menjual hasil panennya karena sejumlah pabrik kelapa sawit mulai menolak membeli TBS dari petani dan lebih memilih menggunakan hasil kebun sendiri. Pabrikan memang mau tak mau harus mengurangi kapasitas produksi akibat larangan ekspor ini," imbuhnya.

Lebih lanjut dia menilai kebijakan larangan ekspor CPO dapat merugikan kinerja perdagangan. Sebabnya, pembatasan ekspor akan berimbas pada penurunan penerimaan devisa ekspor.

"Pada 2021, sumbangan devisa ekspor minyak sawit mencapai USD 35 miliar atau lebih dari Rp 500 triliun. Selain devisa ekspor, ekspor minyak sawit juga memberikan sumbangan kepada kas negara dalam bentuk pajak ekspor (bea keluar) dan pendapatan dari pungutan ekspor," kata Fadli.

Fadli kemudian menyinggung posisi Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia. Dengan diberlakukannya larangan ekspor CPO, Malaysia kini menjadi penguasa ekspor CPO di dunia.

"Pasca-pemberlakuan larangan ekspor CPO Indonesia, Malaysia kini menjadi penguasa 84 persen ekspor CPO. Padahal Malaysia sebelumnya hanya memiliki porsi sekitar 27 persen saja dari total produksi CPO dunia. Absennya Indonesia dari pasar CPO dunia jelas sebuah kerugian," imbuh dia.

Di akhir catatannya, Fadli menyoroti kebijakan larangan ekspor terbukti gagal menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri. Ihwalnya, hingga kini harga minyak goreng yang beredar di masyarakat masih di atas harga eceran tertinggi (HET).

"Kelima, kebijakan larangan ekspor itu terbukti gagal menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri. Harga minyak goreng rata-rata pada minggu kedua Mei ini masih berada di angka Rp 24.500 per liter. Angka ini masih jauh lebih mahal dari tetapan HET yang dibuat pemerintah," sebutnya.

Halaman 2 dari 2
(fca/eva)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads