"Setiap orang punya gaya beriman. (Ada yang) berimannya sesuai dengan pandangan orang banyak, ada yang berimannya sesuai dengan ilmu yang dia dapatkan," lanjut Gilbert.
Gilbert mengistilahkan teologi Pendeta Pariadji adalah teologi rasa. "Kalau beliau lebih pada, istilahnya, teologinya teologi rasa. Apa yang beliau yakini, apa yang beliau rasakan sebagai perintah Tuhan, itu yang beliau rasakan."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misalnya beliau menekankan pada keluarga yang suci, kudus, berkenan kepada Tuhan, baptisan air, lalu minyak urapan, perjamuan kudus yang menuntun pada kemuliaan, kira-kira begitu," imbuh dia.
Gilbert kemudian mengatakan sedih tak bisa memberi penghormatan terakhir kepada Pariadji karena sedang tak berada di Jakarta. Terakhir, dia menceritakan sikap dermawan Pendeta Yesaya Pariadji.
"Saya tidak sempat melayat karena saya sedang di luar kota, itu salah satu yang menyedihkan. Posisinya saya tidak mungkin dapat tiket untuk langsung pulang ke Jakarta. Beliau melayaninya dengan rasa, sehingga beliau tuh nggak boleh ketemu dengan orang susah, yang beliau lihat, kenal, pasti beliau kasih sesuatu. Itu yang saya lihat dengan mata kepala saya," pungkas Gilbert.
![]() |
(aud/imk)