Data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyebutkan jumlah tindakan doxing terus meningkat dari 2017 hingga 2020. Dari riset yang dilakukan SAFEnet pada 2021, doxing masuk dalam 25 serangan yang dialami jurnalis.
"Doxing yang terjadi cukup besar. Kalau dilihat dari kategorisasinya, jenis doxing yang paling banyak dialami wartawan Indonesia delegimitasi, yakni membuat jurnalis tidak dipercaya. Sementara yang kedua doxing penargetan, dia menjadi target dari kejahatan lain, misal prostitusi," ujar Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto dalam paparan virtual, Selasa (26/4/2022).
Lebih lanjut, Damar menyebutkan pelaku doxing menyerang jurnalis karena dimotivasi oleh tujuan politik. Pelakunya pun datang dari individu, kelompok, hingga kelompok yang didukung negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Serangan ini fokus pada target tertentu yang menyasar kelompok berisiko, seperti jurnalis, pembela HAM, aktivis antikorupsi, pejuang adat masyarakat. Serangan siber ini dimotivasi oleh tujuan politik," kata Damar.
Sayangnya, mayoritas jurnalis di Indonesia tidak sadar mengalami doxing. Tak sedikit dari mereka yang memilih menutup akun sosial medianya.
Doxing pun kerap menimpa jurnalis politik hingga hiburan. Untuk menghadapi hal itu, sambungnya, perusahaan tempat jurnalis bekerja harus memantau perkembangan ancaman doxing, melaporkan pelaku, serta memberikan pendampingan mitigasi bagi korban.
"Dewan pers juga telah membuat standar perlindungan pers profesi wartawan. Nanti kalau sudah fix disosialisasikan," ucap Komisioner Dewan Pers Asep Setiawan dalam diskusi virtual, Selasa.
"Akan dibuat melalui Surat Keputusan Dewan Pers, karena ini menyangkut keamanan dan keselamatan kerja wartawan," imbuh dia.
Pihaknya pun menjamin keamanan bagi jurnalis di Indonesia. Hanya, dia turut meminta bantuan perusahaan media guna menghindari ancaman yang membahayakan jurnalis.
Dia berharap perusahaan media dapat melindungi jurnalisnya. Karena itulah, kerja sama antara Dewan Pers dan perusahaan kian dibutuhkan.
"Dalam hal-hal yang menyangkut ancaman wartawan, perlindungan langsung diberikan kepada wartawan ketika peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan terjadi. Untuk mengantisipasi itu terjadi, kita bekerja sama dan meminta perusahaan pers di manapun itu wartawan bekerja," ucapnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
Saksikan juga 'Pegawai KPK Ungkap Rekannya Alami Doxing Karena Wawancara TWK':
Terlebih, kata Asep, jurnalis yang sudah terkena doxing cenderung mengalami trauma. Di sinilah peran perusahaan kian dibutuhkan. Sebab, traumatis tak bisa dihilangkan hanya melalui santunan perusahaan.
Selama ini, sambungnya, belum ada langkah preventif yang dilakukan oleh perusahaan media. Kebanyakan perusahaan pun hanya mengandalkan dewan pers dan perlindungan polisi guna menyelamatkan jurnalisnya.
"Standar perlindungan wartawan bisa diaplikasikan. Karena kadang-kadang dalam peristiwa yang terjadi kadang-kadang belum ada pedoman baku, perusahaan pers belum ada langkah-langkah yang preventif aktif. Namun, justru seolah-olah perusahaan mengandalkannya kepada dewan pers atau perlindungan polisi," pungkasnya.