Penggugat UU Pilkada meminta Mahkamah Konstitusi (MK) agar mengabulkan permohonannya untuk mencegah otoritarian. Sebab, UU Pilkada memungkinkan pemerintah menunjuk penjabat kepala daerah dalam masa transisi 2022/2023 hingga 2024.
Ketentuan penunjukan itu diatur dalam Pasal 201 ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10), dan Pasal 201 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada).
"Ketentuan ini telah memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemerintah, khususnya Presiden dan Menteri Dalam Negeri," kata kuasa hukum pemohon, Nurkholis Hidayat, kepada wartawan, Rabu (20/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara faktual, kata Nurkholis, ketentuan pengangkatan dan penunjukan telah berdampak pada hilangnya ruang kompetisi politik yang sehat dan fair, hilangnya hak masyarakat untuk memilih, dipilih, dan berpartisipasi dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis. Untuk warga Papua dan Papua Barat, ketentuan ini telah mengabaikan UU Otonomi Khusus, UU Pemerintahan Daerah dan mengabaikan kekhususan tanah Papua.
"Di mana pilar-pilar ketatanegaraan dibentuk dan dirancang untuk memberikan pengakuan yang besar terhadap peran Majelis Rakyat Papua, DPR Papua, Dewan Adat, yang merupakan representasi Orang Asli Papua dan masyarakat Papua," papar Nurkholis Hidayat.
Selain itu, ketentuan penunjukan tersebut telah memberi cek kosong kepada Presiden dan Mendagri serta menimbulkan potensi besar dan risiko terciptanya pemerintahan yang authoritarian dan hilangnya fungsi-fungsi check and balance dalam pilar-pilar sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang demokratis.
"Permohonan judicial review UU Pilkada ini merupakan ikhtiar masyarakat yang bertujuan untuk mencegah akumulasi kekuasaan yang sangat besar di tangan pemerintah, khususnya Presiden dan Menteri Dalam Negeri," beber Nurkholis Hidayat.
Selain itu, untuk mengembalikan adanya fungsi check and balance dalam sistem kekuasaan negara, dan memulihkan hak partisipasi dan hak politik masyarakat dalam ikut menentukan masa depan pemerintahan dan negara yang demokratis, menjunjung tinggi prinsip negara hukum (rule of law) dan hak asasi manusia.
"Oleh karena itu, untuk memulihkan hak-hak konstitusional warga negara dan untuk mencegah risiko ancaman terhadap supremasi negara hukum demokratis, Mahkamah Konstitusi dituntut untuk menyatakan ketentuan penunjukan inkonstitusional," urainya.
Sebab, kata Nurkholis, aturan itu bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, pemilihan secara demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan (4) UUD NRI 1945, dan Jaminan, Persamaan dan Kepastian Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Serta aturan hubungan wewenang pusat dan daerah yang harus memperhatikan kekhususan dan Keragaman daerah sebagaimana dijamin Pasal 18 A UUD NRI 1945, atau setidak-tidaknya menyatakan konstitusional bersyarat, yakni dengan memberikan penafsiran atas kata 'ditunjuk' dengan menekankan pada kondisi-kondisi atau persyaratan-persyaratan (conditionalities) yang sesuai dengan konsep negara hukum demokratis sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
"Di mana kedaulatan rakyat adalah yang utama," ujar kuasa hukum lainnya dari Kantor Hukum dan HAM Lokataru, Pieter Ell dan Guntoro.
Sebagaimana diketahui, pada 2022 saja, akan ada 101 kepala daerah yang mengakhiri masa jabatannya, termasuk 7 provinsi, yang salah satunya DKI. Sementara di 2023, akan ada 170 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya, termasuk 17 provinsi.
Presiden Jokowi menegaskan provinsi yang jabatan kepala daerahnya selesai sebelum 2024 tak akan diisi penjabat (pj) dari perwira TNI ataupun Polri aktif.
"Pejabat TNI-Polri aktif tidak mungkin menjadi penjabat kepala daerah tingkat I, UU-nya tidak memungkinkan," kata Presiden Jokowi saat bertemu dengan beberapa pemimpin redaksi media massa nasional di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (19/1/2022).
(asp/rdp)