Kerap dijumpai seorang istri digoda oleh pria lain. Baik dalam bentuk rayuan maupun pesan di media sosial yang membuai dengan ucapan manis. Lalu, apakah perbuatan itu sudah masuk delik pidana?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate. Berikut pertanyaan lengkapnya yang dikirim ke e-mail: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com:
Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barokatu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selamat sore kepada redaksi detikcom dan kawan-kawan
Saya mau bertanya apakah bisa seseorang saya laporkan ke polisi tentang menggoda istri saya dan mengajak menjadi madunya? Padahal dia tahu bahwa yg diajak dimadu masih punya suami, sering dirayu untuk meninggal kan saya/suaminya sekarang dengan sejumlah uang/janji.
Sayangnya saya tidak punya bukti yang saya punya pengaduan istri saya kepada saya karena ketakutan dan merasa tidak nyaman atas perilaku orang itu.
Mohon info dan bantuannya
Semoga kalian yg membantu saya selalu di lingkungan Allah SWT
Untuk menjawab pertanyaan di atas, detik's Advocate mengupas tuntas dengan advokat Dr Anis Rifai SH MH dari Kantor Hukum 99 & Rekan. Berikut jawaban lengkapnya:
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wa barokatu.
Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan kepada detik's Advocate. Kami turut bersimpati terhadap permasalahan yang dialami oleh saudari.
Terhadap pertanyaan saudara tersebut, kami akan membahasnya sebagai berikut :
Perbuatan Tidak Menyenangkan :
Mengenai keresahan Anda dan istri, menurut kami, perbuatan tersebut tergolong ke dalam perbuatan tidak menyenangkan. Pada awalnya, atas tuduhan perbuatan tidak menyenangkan dapat dilaporkan ke polisi dimana pelakunya bisa dijerat Pasal 335 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang rumusannya sebagai berikut:
"Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 4.500:
Ke-1 : Barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri atau orang lain."
Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 tanggal 16 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa frasa, "Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan" dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Sehingga, Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP selengkapnya berbunyi :
"Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain."
Menurut Mahkamah sebagai suatu rumusan delik, kualifikasi, "Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan" tidak dapat diukur secara objektif. Seandainya pun dapat diukur, ukuran tersebut sangatlah subjektif dan hanya berdasarkan atas penilaian korban, para penyidik, dan penuntut umum semata. "Sebagai akibat dari adanya rumusan delik yang demikian itu, dapat juga menjadi peluang bagi penyidik dan penuntut umum untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain berdasarkan suatu laporan," Namun, apabila laporan tidak terbukti di pengadilan, pihak yang dilaporkan jelas telah menderita kerugian karena harus berurusan dengan penyidik dan penuntut umum.
Terlebih, lagi apabila yang bersangkutan ditahan yang berarti seseorang telah kehilangan kemerdekaan sebagai hak asasinya. Padahal hukum pidana dan hukum acara pidana justru ditujukan untuk melindungi hak asasi dari kesewenang-wenangan penegak hukum. Selain itu, yang bersangkutan secara moral dan sosial telah dirugikan karena telah mengalami stigmatisasi sebagai orang yang tercela sebagai akibat laporan tersebut.
Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 tanggal 16 Januari 2014 tersebut, maka perbuatan tidak menyenangkan dengan dasar melanggar Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP tidak dapat lagi dijadikan dasar untuk melaporkan seseorang yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Namun seseorang yang mengganggu dan menggoda istri anda tersebut tetap dapat dilaporkan dengan dugaan melanggar Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP selama dapat dibuktikan bahwa seseorang tersebut telah melakukan kekerasan atau dengan memakai ancaman kekerasan.
Menurut R. Soesilo dalam buku "KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal" (Bogor : Politeia, 1998, hal. 238), yang harus dibuktikan dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP ini ialah adanya orang yang dipaksa secara melawan hak untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu berlawanan dengan kehendaknya sendiri. Pemaksaan itu bisa dilakukan melalui kekerasan, ancaman kekerasan, perbuatan tidak menyenangkan, atau ancaman perbuatan tidak menyenangkan.
Laporan Polisi :
Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan :
"Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana."
Sedangkan "Laporan polisi adalah suatu Laporan tertulis yang dibuat oleh Polisi menurut jabatannya, tentang suatu kejadian/peristiwa yang karena sifatnya berdasarkan pertimbangan maupun ketentuan Hukum yang berlaku, memerlukan tindakan kepolisian, baik tindakan hukum, pelayanan, bantuan / pertolongan yang harus dilaksanakan."
Beberapa contoh permasalahan yang dapat dilaporkan kepada pihak kepolisian adalah saat mengalami tindak pidana dan hingga melihat kejadian tindak kejahatan (seperti pembunuhan, perampokan, korupsi, dan sebagainya). Kemudian untuk menentukan hal yang dilaporkan merupakan tindak pidana atau bukan, pihak berwenang akan melakukan penyelidikan terlebih dahulu.
"Pelapor adalah seseorang yang karena hak dan kewajiban, mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban yang merupakan Tindak Pidana atau yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan Tindak Pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik dan atau Pegawai Negeri dalam melaksanakan tugasnya mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan Tindak Pidana, mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik, penyidik dan penyidik pembantu, baik secara lisan maupun tertulis." Hak Bagi Seorang Pelapor yaitu Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) dengan inilah pelapor atau pengadu dapat memantau kinerja kepolisian dalam menangani kasusnya. Sewaktu-waktu, pelapor atau pengadu dapat juga menghubungi Penyidik untuk menanyakan perkembangan kasusnya.
Dari pengertian tersebut, peristiwa yang dilaporkan belum tentu perbuatan pidana, sehingga perlu dilakukan penyelidikan oleh pejabat yang berwenang terlebih dahulu untuk menentukan perbuatan itu merupakan tindak pidana atau bukan. Kita sebagai orang yang melihat suatu tindak kejahatan memiliki kewajiban untuk melaporkan tindakan itu.
Simak juga 'Suami Ngamar Bareng PSK, Bagaimana Pembuktiannya Agar Dipidanakan?':
Alat Bukti dan Barang Bukti Dalam Membuat Laporan Polisi :
Dalam membuat Laporan Polisi, diperlukan bukti yang mendukung Laporan Polisi tersebut. Hal tersebut dimaksudkan agar Laporan Polisi yang dibuat tidak sembarangan dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain tanpa adanya bukti, namun juga untuk menghindari adanya laporan palsu
Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah:
-Keterangan Saksi;
-Keterangan Ahli;
-Surat;
-Petunjuk;
-Keterangan Terdakwa.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, dalam bukunya yang berjudul "Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti", (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983, hal. 19), menyatakan Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian. Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
Dari kualifikasi alat bukti dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tersebut, KUHAP tidak merincikan apa saja barang bukti yang termasuk ke dalam kualifikasi alat bukti tersebut. Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:
-Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
-Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
-Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
-Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
-Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan,
Menurut Ratna Nurul Afiah, dalam bukunya yang berjudul Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 1989, hal. 14) menyatakan Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti.
Prof. Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2017, hal. 254), mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik.
Selanjutnya menurut Prof. Andi Hamzah, Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti adalah :
-Merupakan objek materiil
-Berbicara untuk diri sendiri
-Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya
-Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa
Jadi, dari pendapat beberapa Ahli Hukum tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah :
-Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
-Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana
-Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana
-Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana
-Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara
-Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 1989, hal. 14).
Kesimpulan :
Berdasarkan penjabaran tersebut di atas, untuk dapat membuat laporan polisi atas dasar tindakan seseorang yang mengganggu dan menggoda istri anda tersebut, harus dapat dibuktikan bahwa seseorang tersebut telah melakukan kekerasan atau dengan memakai ancaman kekerasan melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu.
Hal tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP. Contohnya Seseorang tersebut memaksa dan mengancam istri Anda agar istri Anda tersebut mau mengikuti kemauan orang tersebut dengan meninggalkan Anda sebagai suaminya.
Selama tidak ada bukti yang dapat membuktikan perbuatan tersebut, maka Laporan Polisi yang dilaporkan tersebut dikhawatirkan tidak akan diproses.
Sehingga sebaiknya, apabila Anda ingin melaporkan seseorang kepada polisi sebaiknya didukung oleh bukti yang cukup agar laporan tersebut dapat ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum yang berwenang.
Demikian uraian jawaban dari kami, semoga bermanfaat bagi saudara, para pembaca detik.com dan masyarakat pada umumnya.
Jakarta, 27 Maret 2022
Hormat kami,
Dr Anis Rifai SH MH
KANTOR HUKUM SEMBILAN SEMBILAN DAN REKAN Advokat dan Konsultan Hukum
Gedung Menara 165
Jl TB Simatupang
Jakarta Selatan
Dasar Hukum :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 tanggal 16 Januari 2014
Referensi :
1. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2017, hal. 254)
2. Martiman Prodjohamidjojo, "Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti", (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983, hal. 19)
3. R. Soesilo, "KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal" (Bogor : Politeia, 1998, hal. 238)
4. Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 1989, hal. 14)
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum waris, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.