Giliran Yusril-LaNyalla Gugat Presidential Threshold ke MK agar Dihapus

Giliran Yusril-LaNyalla Gugat Presidential Threshold ke MK agar Dihapus

Andi Saputra - detikNews
Minggu, 27 Mar 2022 12:56 WIB
Yusril Ihza Mahendra (Lisye Sri Rahayu/detikcom)
Yusril Ihza Mahendra (Lisye Sri Rahayu/detikcom)
Jakarta -

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan Ketua DPD RI LaNyalla Mattaliti menggugat presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya berharap aturan yang tertuang dalam Pasal 222 UU Pemilu itu dihapus.

"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum pemohon yang dikutip dari berkas permohonan yang dilansir website MK, Minggu (27/3/2022).

Ikut pula menandatangani permohonan itu Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Mahyudin dan Sultan Baktiar Najamudin. Menurut pemohon, meskipun telah terdapat 19 putusan pengujian Pasal 222 UU Pemilu terhadap UUD 1945, hanya 3 putusan yang pokok perkaranya dipertimbangkan. Sementara 16 sisanya dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvantkelijke verklaard) sehingga pokok perkaranya tidak dipertimbangkan. Jika pun dipertimbangkan, MK hanya menyatakan pertimbangan dalam Putusan 53/PUU- XV/2017 berlaku mutatis mutandis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Atas dasar tersebut, maka Para Pemohon hanya akan memaparkan batu uji dan alasan permohonan yang berbeda terhadap 3 permohonan yang pokok perkaranya dipertimbangkan," ujar pemohon.

Yusril menyebut partainya dalam Pemilu 2019 meraih suara sebanyak 1.099.849 (satu juta sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus empat puluh sembilan) atau sebesar 0,79% (nol koma tujuh puluh sembilan persen) dari total suara yang telah ditetapkan KPU.

ADVERTISEMENT

"Sebagai partai politik peserta pemilu, Pemohon II seharusnya memiliki hak konstitusional untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Namun hak tersebut menjadi berkurang akibat berlakunya Pasal 222 UU Pemilu yang menambahkan syarat perolehan suara sebanyak 20 persen. Hal yang mana bertentangan dengan apa yang ditentukan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945," beber Yusril.

Menurut pemohon, Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan prinsip negara hukum, presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan pemilu yang periodik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Ketiga pasal UUD 1945 di atas mengandung makna perubahan dimungkinkan sepanjang diinginkan oleh rakyat dan sesuai konstitusi.

"Keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu yang mensyaratkan ambang batas pengusungan calon Presiden dan Wakil Presiden sebesar 20% perolehan kursi di DPR RI atau 25% suara sah nasional, apalagi berdasarkan hasil pemilu sebelumnya, sama saja mengekang aspirasi rakyat untuk tidak berubah selama 5 tahun. Mana mungkin syarat pencalonan presiden tersusun dari hasil Pemilu 5 tahun sebelumnya. Tentu selama 5 tahun berjalannya pemerintah, terdapat perubahan aspirasi politik dari rakyat. Dan hal ini tidak terakomodir dengan hadirnya ketentuan Pasal 222 UU Pemilu," tuturnya.

Menurut pemohon, Pasal 222 lebih condong ke status quo yang tidak demokratis ketimbang kepada arus perubahan yang reformis. Pasal 222 lebih menguntungkan parpol lama-terlebih dengan syarat hasil pemilu 5 tahun sebelumnya, dan akibatnya akan cenderung mempertahankan kekuasaan lama dan menutup peluang perubahan (reformasi).

"Padahal kekuasaan yang cenderung bertahan lama tetap akan cenderung koruptif, dan karenanya membutuhkan pembaharuan," tegas pemohon.

Karena itu, pasal 222 harus dihilangkan untuk membuka ruang lebih lebar bagi arus perubahan sesuai dengan dinamika dan aspirasi rakyat pemilih, yang lebih sesuai dengan esensi pemilihan presiden langsung oleh rakyat sebagaimana diamanatkan pasal 6A UUD 1945, dan pemilu yang periodik sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:

Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

"Berdasarkan argumentasi di atas, maka jelas terlihat bahwa keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945," kata pemohon.

Simak Video 'Presidential Threshold: Dilema Demokrasi Multipartai':

[Gambas:Video 20detik]



Selain itu, pembentuk undang-undang (lawmaker) dalam merumuskan dan menetapkan ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebanyak 20% kursi atau 25% suara berdasarkan hasil pemilihan umum sebelumnya tidak didasarkan pada penghormatan atau pemenuhan hak rakyat untuk memilih (right to vote) atau mendapatkan sebanyak-banyak pilihan alternatif pasangan calon presiden. Seharusnya pembentuk undang-undang (lawmaker) dalam menetapkan presidential threshold tidak melalui mekanisme voting atau suara terbanyak, melainkan dengan melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat (terutama yang kontra terhadap penerapan presidential threshold) dan secara proporsional mengakomodasi suara minoritas dalam kelembagaan parlemen.

Secara faktual, mekanisme voting atau suara terbanyak dalam pengesahan UU Pemilu direspons oleh 4 (empat) fraksi partai politik dengan aksi walk out, yakni Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi Partai Amanat Nasional yang menginginkan ambang batas pengajuan kandidat presiden menjadi 0 persen," tegasnya.

Dalam menentukan angka ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), pembentuk undang-undang lebih banyak mendasarkannya pada kepentingan politik (menghilangkan penantang dalam pemilihan presiden) dan tidak dilandasi atau berbasis pada kepentingan pemilih serta pembangunan demokrasi substansial. Karena itu, Pasal 222 UU Pemilu tidak memiliki legitimasi politik yang kokoh dari seluruh perwakilan rakyat.

"Berdasarkan argumentasi di atas, telah jelas keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945," ujar Yusril dkk.

Sebelumnya, MK sudah menolak sejumlah permohonan judicial review presidential threshold dengan alasan pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional.

1. 5/PUU-XX/2022
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pemohon: Lieus Sungkharisma
Putusan MK: Tidak dapat diterima
2. 6/PUU-XX/2022
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pemohon: Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra, SH., MH, Fahira Idris, SE., MH
Putusan MK: Tidak dapat diterima
3. 7/PUU-XX/2022
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pemohon: Ikhwan Mansyur Situmeang
Putusan MK: Tidak dapat diterima
4. 66/PUU-XIX/2021
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pemohon: Ferry Joko Yuliantono SE AK
Putusan MK: Tidak dapat diterima
5. 68/PUU-XIX/2021
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pemohon: H. Bustami Zainudin S.pd., M.H, H. Fachrul Razi, M.I.P
Putusan MK: Tidak dapat diterima
6. 70/PUU-XIX/2021
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pemohon: Gatot Nurmantyo
Putusan MK: Tidak dapat diterima

Secara umum Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima gugatan para pemohon yang diajukan secara terpisah, seperti mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, Ferry Yuliantono, dan Fahira Idris dkk, karena tidak mempunyai legal standing. Diketahui Fahira Idris menggugat bersama dua anggota DPD RI lainnya, Tamsil Linrung dan Edwin Pratama Putra.

Halaman 2 dari 2
(asp/dwia)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads