Klaim Luhut soal Big Data 'Tunda Pemilu' Dipertanyakan Lembaga Survei

Klaim Luhut soal Big Data 'Tunda Pemilu' Dipertanyakan Lembaga Survei

Firda Cynthia Anggrainy - detikNews
Minggu, 13 Mar 2022 18:33 WIB
Infografis  sederet tugas Menko Luhut Binsar Pandjaitan
Luhut Binsar Pandjaitan (Foto: Infografis detikcom/M Fakhry Arrizal)
Jakarta -

Klaim Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut 110 juta suara rakyat Indonesia menginginkan gelaran Pemilu 2024 ditunda menuai banyak kritik. Sejumlah lembaga survei pun mempertanyakan perihal klaim yang disampaikan Luhut tersebut.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno menilai klaim big data oleh Luhut terlalu sumir. Dia mempertanyakan suara rakyat yang mana yang Luhut klaim dalam big data tersebut.

"Seakan-akan elite itu menyuarakan yang agak sedikit sumir, menurut big data. Entah itu big data mana yang kemudian disebut sebagai suara rakyat, yang kemudian dikapitalisasi itu rakyat ingin menunda pemilu," kata Adi Prayitno dalam acara diskusi Total Politik bertajuk 'Polster Club: Perpanjangan Masa Jabatan Menyisip Suksesi 2024' di Jakarta Barat, Minggu (13/3/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemudian, Adi lalu meminta big data yang dimaksud Luhut itu segera dibuka ke publik. Sebab, representasi rakyat yang disebut Luhut harus berdasarkan landasan yang jelas.

"Makanya, ketimbang selalu terjadi pertarungan opini, sebaiknya dibuka itu data big data yang katanya mendukung penundaan pemilu 2024. Karena ini penting siapa sebenarnya yang merepresentasikan rakyat," katanya.

ADVERTISEMENT

Sementara itu, Direktur IndoStrategic Ahmad Khoirul Umam menyebut klaim big data oleh Luhut merupakan manipulasi informasi. Ahmad menyebut Luhut telah semena-mena mengklaim big data tersebut mengatasnamakan rakyat.

"Yang disampaikan oleh Pak Luhut itu jelas itu adalah manipulasi informasi. Data 110 juta itu jelas tidak merepresentasikan karena tidak terkonfirmasi data yang mana 110 juta," kata Ahmad Khoirul Umam dalam kesempatan yang sama.

"Ini yang selalu menjadi polemik kita. Kita ini selalu mengklaim atas nama rakyat. Kemarin diklaim atas arahan presiden, atas restu presiden. Kemudian mendapat resistensi politik cukup kuat akhirnya kemudian justifikasi rakyat digunakan. Rakyat, tidak mengkonfirmasi itu," imbuhnya.

Pakar politik Universitas Paramadina itu kemudian mengulas soal klaim big data yang juga terjadi saat proses pembahasan dan pengesahan Undang-Undang tentang Cipta Kerja dan Undang-Undang tentang KPK pada beberapa waktu lalu. Begitu pula Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (IKN) yang disahkan baru-baru ini.

"Bahasa yang tadi sumir yaitu big data. Teman-teman yang memahami konteks detail, kalau kita lihat pergerakan politik yang ada di sekitar UU Cipta Kerja, gerakan politik, operasi ya, manipulasi opini publik yang saya sebut juga terkait dengan UU KPK. Kemudian termasuk dalam konteks IKN," kata dia.

Dia menilai klaim atas nama publik itu tidak jelas. Ahmad menilai wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tersebut hanya merupakan proses politik yang dipakai untuk menjustifikasi kepentingan bisnis dan kekuasaan.

"Saya pikir, ini level mana, publik yang mana, tidak clear. Oleh karena itu, saya ngerasa bahwa ini adalah proses politik yang kemudian mencoba untuk menjustifikasi kepentingan-kepentingan bisnis dan kekuasaan itu. Nah ini yang harus diantisipasi bersama karena memang pemerintah saat ini punya kekuatan besar," ujar Umam.

Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes menyoroti klaim big data oleh Luhut yang justru berbeda dengan data yang didapat oleh berbagai lembaga survei. Pasalnya, sejumlah lembaga survei telah merilis data yang menunjukkan mayoritas responden menolak usulan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.

"Kalau kita lihat itu lembaga-lembaga survei yang kredibel dan teruji dalam kompetisi-kompetisi politik untuk memprediksi bagaimana kecenderungan-kecenderungan populasi itu. Kalau kita lihat semua kecenderungannya oleh lembaga yang kredibel, yang terpercaya dan berpengalaman itu menunjukkan bahwa mayoritas hasilnya, publik menolak terhadap perpanjangan masa jabatan dan penundaan pemilu," kata Arya Fernandes.

Baca berita selengkapnya di halaman selanjutnya...

Simak Video 'PKS Minta Luhut Buktikan Data 110 Juta Netizen Dukung Penundaan Pemilu':

[Gambas:Video 20detik]



Klaim Luhut soal Big Data 'Tunda Pemilu'

Sebelumnya diberitakan, Luhut berbicara tentang wacana penundaan pemilu hingga jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diperpanjang. Luhut mengklaim punya big data aspirasi rakyat Indonesia yang menginginkan penundaan Pemilu 2024.

Hal itu disampaikan Luhut dalam podcast #closethedoor di channel YouTube Deddy Corbuzier, seperti dilihat, Jumat (11/3/2022). Dalam perbincangannya dengan Deddy, Luhut menjelaskan pihaknya memiliki big data yang isinya merekam aspirasi publik di media sosial soal Pemilu 2024.

"Karena begini, kita kan punya big data, saya ingin lihat, kita punya big data, dari big data itu, kira-kira meng-grab 110 juta. Iya, 110 juta, macam-macam, Facebook, segala macam-macam, karena orang-orang main Twitter, kira-kira orang 110 jutalah," kata Luhut.

Dari data tersebut, Luhut menjelaskan masyarakat kelas menengah ke bawah ingin kondisi sosial politik yang tenang. Masyarakat, kata Luhut, tak ingin gaduh politik dan lebih menginginkan kondisi ekonomi ditingkatkan.

"Kalau menengah ke bawah ini, itu pokoknya pengin tenang, pengin bicaranya ekonomi, tidak mau lagi seperti kemarin. Kemarin kita kan sakit gigi dengan kampretlah, cebonglah, kadrunlah, itu kan menimbulkan tidak bagus. Masa terus-terusan begitu," ujarnya.

Masih dari big data yang diklaim Luhut, dia mengatakan rakyat Indonesia mengkritisi dana Rp 100 triliun lebih untuk Pemilu 2024. Dana ratusan triliun ini memang diajukan KPU kepada DPR-pemerintah.

"Sekarang lagi gini-gini, katanya, kita coba tangkap dari publik (dari data-data tersebut), ya itu bilang kita mau habisin Rp 100 triliun lebih untuk milih, ini keadaan begini, ngapain sih, ya untuk pemilihan presiden dan pilkada, kan serentak," ucapnya.

Halaman 2 dari 2
(fca/rak)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads