Babeh Idin adalah jawara lingkungan yang berjasa menghijaukan bantaran Kali Pesanggrahan di Hutan Kota Sangga Buana. Peraih Kalpataru tahun 2013 ini mengawali aksi peduli lingkungannya dengan petualangan kolosal.
"Jadi dulu kali ini dibuat menjadi tempat pembuangan sampah. Kalau ada banjir, yang disalahin kalinya. Kali Ciliwung, Kali Pesanggrahan, Kali Krukut," tutur Babeh Idin kepada detikcom di Hutan Kota Sangga Buana tak jauh dari Kali Pesanggrahan, Kelurahan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Selasa (8/3) lalu.
Pria 66 tahun bernama asli Chaerudin ini menceritakan peristiwa awal 1990-an. Saat itu dia melihat Kali Pesanggrahan ini kotor. Rasa kesal mendorongnya untuk menempuh perjalanan mencari akar masalah pencemaran sungai. Dia kemudian naik gunung untuk melihat langsung hulu sungai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Naik gunung, bahasa kerennya survei, tapi aslinya pengin tahu kondisi alam bagaimana. Orang-orang yang ikut naik gunung waktu itu sekarang sudah pada meninggal kebanyakan," kata dia mengingat lelakunya di masa lalu.
Babeh Idin sampai di Mandalawangi, telaga di kaki Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, hulu Ciliwung. Dia juga sempat mengunjungi hulu-hulu sungai lainnya, seperti hulu Sungai Citarum dan Hulu Kali Pesanggrahan. Kesimpulan yang dia dapatkan kala itu adalah tak ada lagi orang-orang yang peduli secara serius dengan sungai, yang tersisa adalah kenangan soal 'aki-aki' penjaga sungai.
"Saya kadang tanya ke aki-aki yang jaga sungai, dia bilang dulu di sungai ditanami kirai (pohon rumbia atau sagu), sekarang udah nggak ada, udah digusur, dibikin perumahan-perumahan," tutur Babeh Idin.
Menyusuri sungai, hulu ke hilir
Cerita selanjutnya, Babeh Idin, yang saat itu masih lumayan muda, memutuskan menempuh perjalanan solo. Dia menyusuri sungai dari hulu di Bogor ke hilir di Kapuk Muara, Jakarta Utara.
"Lima hari enam malam. Sampai kita ke Kapuk Muara. Bukannya mau jadi dukun, tapi survei karena kesel (jengkel dengan keadaan sekitar), tapi kita tidak menyalahkan orang, menyalahkan pemerintah, tapi yang penting kita berbuat," ujarnya.
Hebatnya, Babeh Idin menempuh perjalanan itu dengan getek dari gedebok pisang. Sembari menempuh perjalanan menyusuri sungai dari hulu ke hilir, dia singgah di bantaran-bantaran kali untuk menanam pohon.
"Gua nanam pohon dari hari ke bulan, tanam pohon tiap 20 meter. Siapa berani nyabut, kepalanya gua pendem. Janjinya kayak Sumpah Palapa. Jadi sebenarnya bukan di sini (Lebak Bulus) saja, tapi juga di Bogor, Depok, Sawangan," kata Babeh Idin, blak-blakan dengan logat khas Betawi.
![]() |
Kesimpulan yang dia dapatkan dari perjalanan epik kala itu, sungai sudah semakin tercemar, pembangunan sudah kian mendekati sempadan sungai. Dia hanya berbuat apa yang dia bisa lakukan, ternyata hasilnya diapresiasi banyak orang di kemudian hari. Babeh Idin bahkan dianugerahi oleh negara, penghargaan tertinggi di bidang lingkungan, yakni Kalpataru tahun 2013.
Kini Babeh Idin juga mengasuh Kelompok Tani Lingkungan Hidup (KTLH) Sangga Buana. Di dalamnya, ada banyak warga yang terlibat. Dia berujar ada ribuan orang yang terlibat, termasuk di luar Jakarta dan luar Pulau Jawa. Jejaringnya telah meluas.
![]() |
Kegiatan pertanian ramah lingkungan menghasilkan tambahan pemasukan dan manfaat. Untuk menjalankan kegiatan, KTLH Sangga Buana juga bekerja sama dengan instansi lain. Babeh Idin tidak mau menerima dana seperti bantuan karena tidak suka pada kesan pihak penerima bantuan seperti anak yatim yang perlu disantuni. Babeh Idin baru mau apabila modal organisasinya berbentuk kerja sama dengan perusahaan-perusahaan, termasuk lahan-lahan milik PTPN yang ditanami kelompok tani hutan asuhannya.
Ada pula pengolahan sampah di Hutan Kota Sangga Buana, Lebak Bulus ini. Dia merasa cukup puas melihat anak-anak muda mulai sadar dengan lingkungan dan berkegiatan di KTLH Sangga Buana.
"Anak-anak gua, muslim, nonmuslim, berbagai suku bisa kumpul, kan bangga gua. Kekayaan gua melebihi mobil dan apartemen. Kekayaan gua nggak bisa dihitung dengan jumlah materi," ujarnya.