Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mengungkap keuntungan yang diperoleh Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin Angin (TRP), dari kerangkeng manusia di rumahnya. Edwin menyebut Terbit Rencana dapat keuntungan mencapai Rp 177,5 miliar dari praktik perbudakan modern.
"Mengacu pernyataan Kapolda Sumut, bila setidaknya ada 600 korban dalam 10 tahun terakhir yang dipekerjakan oleh TRP di bisnisnya tanpa digaji, maka TRP diuntungkan dengan tidak membayar penghasilan mereka sebesar Rp 177.552.000.000 (miliar)," kata Edwin seperti dilansir dari Antara, Kamis (10/3/2022).
Edwin mengatakan Terbit sepenuhnya memanfaatkan situasi akut para pecandu narkotika untuk memperoleh keuntungan dengan tidak membayar upah mereka sebagai tenaga kerja demi kepentingan bisnis pribadi miliknya. Menurutnya, terdapat banyak cerita kelam yang diperoleh tim LPSK saat melakukan kegiatan koordinasi, investigasi, dan penelaahan sejak 27 Januari hingga 5 Maret 2022.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tim LPSK menemukan benang merah bahwa tidak ada jalan pulang bagi mereka yang menjadi penghuni kerangkeng di rumah Terbit. Hal itu diperburuk dengan ketakutan para korban terhadap Terbit yang merupakan seorang kepala daerah.
"Kalau ada TRP, jangankan makan dan minum, buang air pun para korban tidak berani," ucapnya.
Dari berbagai temuan itu, tim LPSK menduga keras telah terjadi praktik perbudakan di kasus kerangkeng milik Terbit dengan iming-iming rehabilitasi bagi para pecandu narkotika.
"Pola penguasaan total benar-benar memutus penghuni kerangkeng dari keluarganya. Bahkan ada dua orang tua dari korban yang meninggal dunia dan mereka tidak diperkenankan untuk melayat," ujarnya.
"Konsekuensi lain bagi para korban setelah masuk ke kerangkeng tersebut adalah nyaris tidak ada jalan untuk pulang," tambahnya.
Edwin mengatakan meskipun saat masuk terdapat surat pernyataan yang ditandatangani pihak keluarga dan pihak penanggung jawab kerangkeng, dalam praktiknya untuk keluar kerangkeng hanya dimungkinkan jika menyuap kepala lapas (kalapas), melarikan diri, atau mati. Menurut Edwin, mereka yang kabur juga memiliki konsekuensi untuk dicari dan dijemput paksa oleh tim pemburu.
Tim pemburu tersebut ialah anak buah dari Terbit, orang suruhan Dewa, yang merupakan anak Terbit, serta oknum aparat setempat. Tim pemburu juga mengancam keluarga korban yang kabur untuk menggantikan posisi korban dalam kerangkeng.
Simak juga video 'Sederet Hal Sadis dari Temuan LPSK di Kerangkeng Bupati Langkat':