Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menguji aturan soal presidential threshold 20 persen yang digugat puluhan orang. MK sendiri punya penelitian yang membahas kondisi pemerintahan di negara-negara tanpa presidential threshold.
"Di negara-negara yang menganut sistem presidensil, seperti Amerika, Brasil, Peru, Meksiko, Kolombia, dan Kyrgyzstan, ambang batas tidak dikenal. Mereka menerapkan sistem terbuka pencalonan tanpa dipersyaratkan dukungan. Meski demikian, sistem pemerintahan mereka juga tergolong stabil, seperti yang dicontohkan oleh Amerika Serikat," demikian kesimpulan peneliti MK, Abdul Ghoffar.
Hal itu tertuang dalam Jurnal Konstitusi Vol 15, Nomor 3 (2018) yang dikutip detikcom, Kamis (17/2/2022). Abdul Ghoffar mengatakan sebagai sebuah negara yang sangat besar dengan sistem presidensial yang paling mapan, AS tidak menerapkan ambang batas.
Pada Pilpres 2016, misalnya. Saat itu ada pasangan calon Hillary Clinton dan Tim Kaine dari Partai Demokrat, serta Donald Trump dan Mike Pence dari Partai Republik.
Selain itu, ada juga banyak pasangan dari Partai Ketiga (sebutan untuk partai-partai kecil dan independen). Misalnya, pasangan Gary Johnson dan Bill Weld dari Partai Liberal (Libertarian Party), pasangan Jill Stein dan Ajamu Baraka dari Partai Hijau (Green Party), serta kandidat dari partai-partai lain dan independen yang total terdapat sekitar 24 calon yang terdaftar di surat suara di beberapa negara bagian atau menjadi calon tertulis.
"Meski demikian, tidak ada calon dari partai ketiga tersebut, yang mendominasi sebuah negara bagian pada pemilih," ujar Abdul Ghoffar.
Kondisi tersebut juga terjadi di Brasil. Negara itu tidak mengatur ambang batas pencalonan presiden dalam sistem ketatanegaraan mereka.
Pasal 77 Konstitusi Brasil menjelaskan bagaimana mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden. Pasal itu mengatur Presiden dan dan Wakil Presiden dan jika harus ada putaran kedua maka akan dilakukan pada hari minggu terakhir bulan Oktober sebelum berakhirnya tahun masa jabatan Presiden yang sedang menjabat saat itu.
Setelah calon Presiden dan Wakil Presiden didaftarkan oleh partai politik, calon yang mendapatkan suara mayoritas mutlak, akan dianggap sebagai Presiden terpilih. Jika tidak ada calon yang mencapai mayoritas mutlak pada pemungutan suara pertama, pemilihan putaran kedua akan diadakan dalam waktu 20 hari setelah pengumuman hasil antara dua kandidat yang memperoleh jumlah suara terbanyak.
"Pada Pilpres yang akan digelar pada Oktober 2018, sedikitnya sudah ada 16 kandidat yang mengumumkan pencalonannya. Para calon ini berasal dari berbagai macam background, mulai dari senator, deputi, mantan menteri, mantan Hakim Agung, bahkan mantan Presiden yang pernah diturunkan (impeachment)," ujar Abdul Ghoffar.
Jika tidak ada satu pun calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen suara sah, maka akan dilakukan putaran kedua dengan dua kandidat yang mendapat suara terbanyak pertama dan kedua.
"Keharusan mendapat 50 persen lebih ini mirip dengan di Indonesia," beber Abdul Ghoffar.
Bagaimana dengan di Peru? Berdasarkan Pasal 111 Konstitusi Peru, presiden dipilih melalui hak pilih langsung. Calon yang mendapat suara lebih dari separuh suara pemilih dinyatakan sebagai calon terpilih. Suara yang tidak sah atau kosong tidak dihitung.
"Pada tahun 2016, tepatnya pada tanggal 10 April, Peru menyelenggarakan pemilihan presiden putaran pertama. dalam ajang demokrasi itu diikuti oleh 10 calon, yaitu Keiko Fujimori, Pedro Pablo Kuczynski, Veronika Mendoza, Alfredo Barnechea, Alan Garcia, Gregorio Santos, Fernando Olivera, Alejandro Toledo, Miguel Hilario, Antero Flores-Araoz," kata Abdul Ghoffar.
Lihat juga video 'Presidential Threshold: Dilema Demokrasi Multipartai':
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
(asp/haf)