Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) Yogyakarta meminta revisi UU Peraturan Pembentukan Perundang-undangan (PPP) secara matang. PSHK FH UII menegaskan revisi UU PPP itu sebaiknya tidak hanya menyinggung soal omnibus law semata.
"Substansi perubahan dalam revisi UU PPP sebagian besar hanya terfokus pada akomodasi metode omnibus (Pasal 1 angka 2a; Penjelasan Pasal 5; Pasal 42A, Pasal 64; Pasal 97A). Sehingga penyusunan revisi UU PPP ini sangat parsial dan pragmatis karena tidak mengidentifikasi secara menyeluruh permasalahan berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan," kata peneliti PSHK Dian Kus Pratiwi dalam siaran pers yang diterima detikcom, Kamis (10/2/2022).
Sebab, masih terdapat masalah yang penting yang harus direvisi di UU itu. Di antaranya:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Penataan hierarki peraturan perundang-undangan;
2. Penataan peraturan delegasi;
3. Penataan peraturan lembaga negara independen dan peraturan komisi;
4. Penataan kelembagaan;
5. Pengaturan persetujuan presiden dalam pembentukan Peraturan Menteri;
6. Penyempurnaan pengaturan carry over;
7. Penyempurnaan pengaturan pemantauan UU oleh DPR;
8. Pengaturan metode evaluasi peraturan perundang-undangan;
9. Pengaturan metode pembentukan undang-undang secara cepat (fast track legislation) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; dan
10. Penataan undang-undang tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi.
"DPR telah mengesampingkan banyaknya permasalahan dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan tersebut dan hanya berfokus pada akomodasi metode omnibus. Hal ini semakin memperlihatkan ketidakseriusan DPR dalam menyusun revisi UU PPP dan hanya mengedepankan kepentingan pendek yaitu terlegitimasinya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," tutur Dian.
DPR melakukan roadshow Konsultasi Publik Penyusunan Naskah Akademik dan RUU PPP di berbagai daerah. Seperti Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dengan melibatkan universitas setempat. Terdapat 3 permasalahan mendasar dari Konsultasi Publik tersebut. Pertama, dalam konsultasi publik tersebut, ruang partisipasi publik justru dibuka sangat sempit dengan alasan terbatasnya waktu, konsultasi publik hanya dipenuhi dengan mendengarkan materi dari nara sumber.
"Kedua, narasumber dalam konsultasi publik masih minim yang memiliki keahlian di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan yang dekat dalam rumpun ilmu Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN). Justru mayoritas narasumber tersebut yang memiliki keahlian di bidang Pidana dan Perdata yang jauh dari keahlian pembentukan peraturan perundang-undangan," beber Dian.
Baca juga: Baleg DPR Bakal Bentuk Panitia Kerja RUU PPP |
Ketiga, dengan sempit dan terbatasnya ruang partisipasi publik dalam kegiatan roadshow konsultasi publik tersebut, jangan sampai berdampak pada pembentukan UU PPP yang sangat penting justru dibuat dengan metode pembentukan undang-undang secara cepat (fast track legislation) dan malah mengabaikan prosedur pembentukan yang partisipatif.
"Terhadap beberapa catatan tersebut, PSHK FH UII merekomendasikan kepada DPR agar memperbaiki substansi revisi UU PPP dengan tidak hanya menyusun substansi secara parsial yakni sebatas terfokus pada akomodasi metode omnibus akan tetapi harus lebih komprehensif dengan mensolusi permasalahan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan," cetus Dian.
Kedua, DPR agar melakukan konsultasi publik secara partisipatif memperhatikan hak masyarakat untuk: didengarkan pendapatnya (right to be heard); dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
"Ketiga, kepada DPR agar melakukan konsultasi publik secara substantif, yakni melibatkan ahli yang memang fokus di bidang peraturan perundang-undangan bukan semata ahli di bidang hukum lain dengan tujuan untuk melegitimasi terselenggaranya konsultasi publik," pungkas Dian.
Sebagaimana diketahui, pada 8 Februari 2022, DPR menyetujui revisi UU PPP. Dari 9 fraksi di DPR, sebanyak 8 fraksi menyetujui. Sedangkan satu fraksi lain, yakni PKS, menolak pengesahan RUU ini.
"Sembilan fraksi telah menyampaikan pendapat fraksi masing-masing baik tertulis maupun dibacakan. Ini saatnya kami tanyakan kepada sidang Dewan terhormat, apakah RUU usul inisiatif Baleg DPR tentang perubahan kedua atas UU No 12 tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan dapat disetujui jadi inisiatif DPR RI?" kata Dasco.
"Setuju," ujar anggota dewan yang hadir.
(asp/knv)