Dilema KPK di Kasus Heli AW-101 Buntut Digugat Tersangka

Dilema KPK di Kasus Heli AW-101 Buntut Digugat Tersangka

Azhar Bagas Ramadhan - detikNews
Rabu, 09 Feb 2022 14:09 WIB
KPK beserta POM TNI melakukan cek fisik helikopter Agusta Westland 101 (AW-101) di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Ini foto-fotonya.
Penampakan helikopter AW-101 (Foto: dok detikcom)
Jakarta -

Perkara dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101 menjadi dilema bagi KPK. Pasalnya para tersangka dari unsur TNI sudah lepas statusnya sebab dihentikan kasusnya tapi tersangka dari unsur swasta tergantung nasibnya di KPK.

Perkara ini memang beririsan antara KPK dengan TNI AU. Kasus bermula saat TNI AU menyatakan helikopter Super Puma untuk VVIP akan diganti dengan jenis dan merek terbaru karena sudah usang. Peremajaan helikopter kepresidenan itu sudah diusulkan sejak lama dan pengadaannya masuk dalam rencana strategis (renstra) II TNI AU tahun 2015-2019. Alasannya, heli yang akan digantikan sudah berusia 25 tahun sehingga perlu peremajaan.

Pada 2017 KPK menjerat seorang dari unsur swasta bernama Irfan Kurnia Saleh yang disebut sebagai Direktur PT Diratama Jaya Mandiri atau PT DJM, perusahaan yang berkaitan dengan pengadaan heli itu. Di sisi lain Puspom TNI menjerat 5 tersangka dari unsur prajurit TNI.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut para tersangka itu:
1. Marsma TNI FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK);
2. Kolonel Kal FTS selaku Kepala Unit Pelayanan dan Pengadaan;
3. Letkol WW, sebagai pejabat pemegang kas;
4. Pelda S, yang diduga menyalurkan dana-dana terkait dengan pengadaan kepada pihak-pihak tertentu; dan
5. Marsda SB sebagai asrena KSAU.

Namun kabar terakhir menyebutkan bila perkara di Puspom TNI itu dihentikan sehingga status tersangka kepada 5 prajurit itu pun gugur. KPK sendiri terakhir belum mengetahui pertimbangan penghentian kasus itu di TNI.

ADVERTISEMENT

Urusan menjadi pelik karena KPK diwajibkan undang-undang untuk mengusut perkara yang berkaitan dengan penyelenggara negara. Hal itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK tepatnya pada Pasal 11. Berikut bunyinya:

Pasal 11
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau
b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal Tindak Pidana Korupsi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kepada kepolisian dan/atau kejaksaan.

Berkaca pada aturan itu maka KPK tidak memiliki wewenang karena hanya mengusut unsur swasta tanpa adanya penyelenggara negara sebab unsur swasta bukanlah termasuk penyelenggara negara. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata turut menyadari hal itu.

"Ketika di sana (Puspom TNI) dihentikan, tentu cantolannya menjadi tidak ada kita. Ini kan penyelenggara negara, tapi nanti pasti akan kami kaji, kalau kami masih meyakini bahwa dari transaksi itu terjadi kerugian negara, kita bisa berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lain, kejaksaan atau kepolisian untuk menangani," kata Alexander Marwata pada Rabu, 29 Januari 2021.

Namun untuk tindak lanjut hal itu Alexander mengaku akan berkoordinasi dengan TNI. Hanya saja sampai saat ini belum terdengar bagaimana kelanjutannya.

"Kita belum koordinasi dengan TNI terkait dengan penghentian proses penyidikan di sana. Ya kita belum sempat bertemu. Ya nanti kita akan koordinasikan dari deputi penindakan kan," ungkap Alex.

Praperadilan

Di sisi lain KPK malah dihadapkan pada gugatan praperadilan. Dilihat pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), permohonan praperadilan itu diajukan pada 2 Februari 2022 dengan nomor perkara 10/Pid.Pra/2022/PN JKT.SEL. Pemohon praperadilan itu tertulis nama Jhon Irfan Kenway dengan termohon KPK dan Pimpinan KPK.

Dari catatan detikcom, tersangka perkara ini yang dijerat KPK adalah Irfan Kurnia Saleh. Tidak disebutkan jelas apakah Jhon Irfan Kenway yang mengajukan permohonan praperadilan itu adalah nama lain dari Irfan Kurnia Saleh yang menjadi tersangka KPK. Namun Jhon Irfan Kenway dalam permohonan praperadilannya memposisikan diri sebagai tersangka KPK yang meminta agar hakim tunggal praperadilan mencabut status tersangkanya.

Salah satu poin dalam permohonan praperadilan itu disebutkan berkaitan dengan status tersangka yang masih tersemat sedangkan perkara di TNI sudah dihentikan. Berikut salah satu bunyi permohonan praperadilan itu.

Menyatakan, tetap mempertahankan pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah, karena lama status pemohon sebagai tersangka sudah lampaui 2 (dua) tahun dan tersangka penyelenggara negara (peserta lain) sudah dihentikan penyidikannya

Mengenai permohonan praperadilan itu, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri belum berbicara banyak. Dia mengaku baru akan mengeceknya.

"Lagi aku cek. Biro Hukum belum terima panggilan (praperadilan) soalnya," ucap Ali ketika dimintai konfirmasi, Selasa (8/2/2022).

(dhn/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads