Penggugat Presidential Threshold: MK Pernah Batalkan Open Legal Policy DPR

ADVERTISEMENT

Penggugat Presidential Threshold: MK Pernah Batalkan Open Legal Policy DPR

Andi Saputra - detikNews
Jumat, 04 Feb 2022 15:31 WIB
Komite Eksekutif Koalisi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Ahmad Yani usai acara deklarasi Masyumi reborn di Jakarta.
Ahmad Yani (Yogi Ernes/detikcom)
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) hingga hari ini menyatakan presidential threshold adalah open legal policy yang menjadi hak DPR untuk menentukannya. Namun penggugat menyatakan MK pernah membatalkan hak itu dengan berbagai alasan. Jadi, menurut penggugat, MK seharusnya bisa juga membatalkan presidential threshold 20 persen menjadi 0 persen.

"Kami juga melihat beberapa macam putusan Mahkamah menyangkut masalah open legal policy ini, telah dibatalkan oleh Mahkamah," kata kuasa hukum pemohon, Ahmad Yani, yang tertuang dalam risalah sidang sebagaimana dilansir website MK, Jumat (4/2/2022).

Ahmad Yani menjadi kuasa bagi 3 anggota DPD, yaitu Tamsil Linrung, Fahira Idris, dan Edwin Pratama Putra. Ahmad Yani menyebutkan putusan MK yang dimaksud adalah soal keterpilihan anggota DPR. Awalnya keterpilihan berdasarkan nomor urut kemudian oleh MK dianulir, yaitu yang memperoleh suara terbanyak.

"Yang kedua, adalah kedudukan Anggota DPR atau DPD apabila ingin maju pilkada, maka sebelumnya hanya tidak berhenti, tapi dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi, maka mewajibkan anggota DPR dan anggota DPD yang maju ke pilkada, maka dia wajib berhenti jadi anggota DPR atau DPD," tutur Ahmad Yani.

Yang ketiga adalah putusan MK soal kepala daerah yang ingin running berikutnya tapi masih incumbent. Meski itu adalah one legal policy DPR, tapi MK membatalkannya.

"Harus 6 bulan sebelumnya mereka harus mundur, tapi Mahkamah Konstitusi memutuskan cukup dengan cuti," tutur Ahmad Yani yang juga pernah menjadi Anggota Komisi III DPR itu.

Keempat, soal syarat memilih dalam Pemilu. Sebelumnya pemilih harus terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT), tapi open legal policy itu diubah.

"Tapi dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi cukup mengajukan KTP," tutur Ahmad Yani.

Yang terakhir adalah soal pemilu serentak.

"Pemilu serentak, Mahkamah Konstitusi juga sudah memutuskan. DPR dan pemerintah sudah menyatakan pemilu itu berjenjang, tapi dengan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, maka pemilu itu serentak dilakukan," terang Ahmad Yani.

Oleh sebab itu, Tamsil Linrung, Fahira Idris, dan Edwin Pratama Putra tetap dalam permohonannya agar syarat presidential threshold dihapus. Aturan yang digugat tersebut tertuang dalam Pasal 222 UU Pemilu. Pasal tersebut berbunyi:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568 sepanjang frasa yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dan jumlah suara 25% secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," pinta pemohon.



ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT