Pernyataan Edy Mulyadi terkait tempat "jin buang anak" dikecam sana sini. Lantas apakah kalimat tersebut menandakan hinaan?
Pakar Bahasa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Hilmi Akmal mengatakan tempat jin buang anak bisa dimaknai sebagai tempat yang jauh dari pusat kota. Istilah itu populer pada tahun 60-a.
"Istilah 'tempat jin buang anak' biasanya memang bisa dimaknai sebagai tempat yang jauh dari pusat kota, tempat yang masih sangat sepi, jarang penduduknya dan masih banyak semak belukar atau bahkan hutan. Istilah ini muncul di Jakarta sekitar tahun 60-an atau 70-an untuk menggambarkan daerah sekitar Jakarta yang masih sepi seperti Ciputat, Pamulang, Bintaro dan lain-lain," kata Hilmi kepada wartawan, Selasa (25/1/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, Hilmi mengatakan makna istilah tersebut bisa dipahami dengan sudut pandang berbeda yakni secara semantik dan pragmatik. Semantik berkaitan dengan perasaan seseorang ketika mendengar istilah itu.
"Terkait dengan ucapan Edy Mulyadi yang memakai istilah itu untuk menyebut daerah ibukota negara yang baru, harus dipahami secara semantik dan pragmatik. Semantik adalah cabang ilmu linguistik yang membahas makna. Dalam semantik ada yang disebut dengan makna afektif, yaitu makna yang berkaitan dengan perasaan seseorang ketika mendengar atau membaca kata atau istilah tertentu," ujarnya.
Lalu pragmatik berkaitan dengan konteks. Hal itu termasuk dalam tindak tutur seseorang.
"Sementara itu, pragmatik adalah cabang linguistik yang membahas makna yang terkait dengan konteks. Dalam pragmatik ada yang disebut dengan tindak tutur. Salah satu jenis tindak tutur ada yang disebut dengan tindak tutur asertif, yakni ketika seseorang menuturkan sesuatu, dia terikat akan kebenaran atau dia percaya bahwa yang dia ucapkan adalah benar," ucapnya.
Dalam konteks semantik, Hilmi mengatakan istilah "jin buang anak" akan memiliki arti yang berbeda bagi masyarakat yang tinggal di dalam ataupun luar Kalimantan. Wajar saja menurutnya, masyarakat Kalimantan memaknai istilah itu sebagai hinaan.
"Secara Frasa tempat jin buang anak akan memiliki afeksi yang berbeda jika yang mendengar adalah orang di luar Kalimantan dengan mereka yang tinggal di Kalimantan, terutama orang asli Kalimantan. Bisa saja -dan dapat dipahami jika- orang-orang Kalimantan memaknainya secara afektif bahwa itu adalah hinaan bagi mereka karena seakan-akan Kalimantan, atau dalam hal ini Kabupaten Penajam Paser Utara, adalah wilayah yang masih sangat sepi dan jarang penduduk," ucapnya.
Tapi, dalam konteks pramatik Edy meyakini kalau makna "jin buang anak" yang dia ungkapkannya itu benar. Tapi terkait apakah tempat yang dimaksud Edy benar sepi dan tidak berpenduduk, Hilmi mengatakan harus bisa dibuktikan.
"Secara pragmatik, tuturan Edy Mulyadi bahwa Kalimantan adalah tempat jin buang anak termasuk tindak tutur asertif di mana penuturnya merasa bahwa benar Kalimantan adalah daerah yang masih sangat sepi, jarang penduduknya, dan masih berupa hutan belantara. Apakah benar atau tidak, bisa dibuktikan dengan mendatangi daerah yang akan jadi ibukota baru itu," tuturnya.
Lihat Video: Bareskrim Polri Kini Tangani Semua Laporan soal Edy Mulyadi