Naskah akademik UU Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara menuai sejumlah sorotan. Dari soal penggunaan kata 'mantap' hingga daftar pustaka yang hanya dua halaman.
Seperti dilihat detikcom, Jumat (21/1/2021) naskah akademik tersebut disusun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Naskah akademik ini disusun oleh Bappenas berdasarkan kajian sejak 2017. Naskah akademik ini menyimpulkan DKI Jakarta sudah tidak lagi bisa mengemban peran optimal sebagai ibu kota.
1. Daftar Pustaka Hanya 2 Halaman
Naskah akademik ini dilampiri oleh dua halaman daftar pustaka. Beberapa referensi rata-rata diisi oleh buku terbitan tahun 1990-an. Bahkan ada yang terbitan 1910. Buku terbitan paling baru adalah terbitan 2017.
2. Tak Cantumkan Referensi dari Akademisi Lokal
Kendati demikian, lembar daftar pustaka ini sempat menjadi sorotan publik. Pasalnya, naskah akademik ini sama sekali tidak mencantumkan referensi produk akademisi Indonesia.
Salah satu yang menyoroti absennya produk akademisi Indonesia dalam naskah akademik RUU IKN ini adalah sejarawan JJ Rizal. JJ Rizal mempertanyakan mengapa naskah akademik ini tidak mencantumkan referensi dari akademisi Indonesia.
"Tolong koreksi saya kalau salah, ini naskah akademik ibu kota baru namanya Nusantara yang bangun ngaku nasionalis Sukarno, tapi satu pun nggak ada referensinya produk akademisi Indonesia," kata JJ Rizal dalam cuitannya di Twitter, Kamis (20/1/2021). detikcom telah mendapat izin untuk mengutip cuitan ini.
"Ini ibu kota sampai modal akademiknya pun modal asing... Astaga," sambungnya.
Lebih lanjut JJ Rizal menyebut naskah akademik ini bukti dari hilangnya perangai ilmiah. Menurutnya, naskah akademik ini dibuat agar tampak ilmiah.
"Ya begitulah (miris), kerusakan sistem ilmu pengetahuan kita menyeluruh, sehingga nggak ada tuh perangai ilmiah. Yang ada perangai snob alias pamer sok ilmiah," ujarnya.
3. Landasan Sosiologis Tak Mencantumkan Argumentasi
Selain daftar pustaka, bagian soal landasan sosiologis dalam naskah akademik ini juga disorot. Pasalnya, landasan sosiologis ini tak mencantumkan argumentasi soal alasan mengapa ibu kota negara dipindahkan.
Bagian landasan sosiologis disorot lantaran hanya memaparkan soal definisi landasan sosiologis. Sorotan ini salah satunya disampaikan oleh guru besar bidang sosiologi bencana dari Universitas Teknologi Nanyang, Sulfikar Amir, melalui akun Twitter-nya, @sociotalker.
"Suatu proyek skala besar berbiaya 500 triliun rupiah yang sebagian besar dibiayai APBN (uang pajak) dijustifikasi dengan naskah akademik yang kualitasnya seperti ini, as a sociologist, i feel utterly offended!" cuitnya.
Dalam cuitannya, Sulfikar mencoret-coret bagian landasan sosiologis yang ia anggap tak memberikan argumentasi sosiologis.
4. Diksi 'Mantap'
Penggunaan diksi 'mantap' dalam naskah akademik ini juga disorot. Kata-kata 'mantap' itu tercantum di halaman 147.
Tepatnya pada bagian "...pencegahan kejahatan yang lebih mantap."
Sorotan soal kata 'mantap' ini salah satunya disampaikan oleh Margianta Surahman Juhanda Dinata, yang memiliki latar belakang sebagai konsultan UNICEF. Melalui @margianta, dia menyoroti soal referensi dan kata mantap dalam naskah akademik ini.
"Jujur, lebih banyak liat referensi di skripsi anak S1 dan di kertas bungkus gorengan daripada di naskah akademik yang 'mantap' itu," tuturnya.
Penjelasan Pansus IKN
Soal daftar pustaka, anggota Pansus DPR RI RUU IKN, Achmad Baidowi, menganggap wajar tak ada referensi dalam negeri di RUU IKN.
"Referensi pemindahan ibu kota kan memang di luar negeri. Di Indonesia belum ada pemindahan ibu kota. Jadi wajar kalau banyak referensi dari luar negeri. Referensi kita untuk dalam negeri lebih pada pengamatan fakta-fakta di lapangan," kata Baidowi atau Awiek kepada wartawan, Jumat (21/1/2022).
"Situasi sosiokultural di lapangan itu lebih faktual dibanding teks," imbuhnya.
Awiek juga menjelaskan, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), isi naskah akademik tak dimuat di suatu undang-undang. Putusan MK tersebut adalah Nomor 73/2014.
"Terkait naskah akademik, sebetulnya menurut MK, pada dasarnya tidak masalah apa yang termuat di naskah akademik tidak ada di UU begitu sebaliknya," ungkapnya.