Penjelasan Jaksa
Saat membacakan tuntutannya, jaksa melengkapi argumentasinya tentang pengulangan perbuatan korupsi yang dilakukan oleh Heru Hidayat. Berikut penjelasan jaksa:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahwa dalam penjatuhan pidana negara melalui peraturan UU mengatur penjatuhan pidana mati bagi perbuatan-perbuatan tertentu yang bersifat sangat luar biasa yang tidak terlepas dari kejahatan serius dan merusak nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan termasuk UU Nomor 31 Tahun 1999 memberikan penerapan pidana mati sebagaimana dalam pasal 2 ayat 2 yang menentukan bahwa dalam hal tipikor sebagaimana dimaksud ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Keadaan tertentu sebagaimana dalam pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 yang dimaksud keadaan tertentu yang dapat dijadikan alasan pemberat pidana bagi pelaku tipikor yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan pengulangan tipikor. Tidak ada penjelasan mengenai pengertian secara resmi dalam keadaan di atas sehingga sangat penting memberi pemahaman dan penjelasan serta batasan yang jelas dalam keadaan dimaksud khususnya pengulangan tindak pidana.
Maka terdapat 2 konstruksi perbuatan terdakwa yang relevan sebagai pengulangan yaitu terdakwa Heru Hidayat melakukan 2 tipikor yaitu perkara Jiwasraya dan perkara korupsi PT ASABRI di mana keduanya dapat dipandang sebagai niat dan objek yang berbeda meskipun periode peristiwanya bersamaan. Dalam perkara korupsi ASABRI dilakukan Heru Hidayat sejak 2012-2019 yang berdasarkan karakteristik perbuatannya dilakukan secara berulang dan terus menerus yaitu penjualan dan pembelian saham yang mengakibatkan kerugian bagi ASABRI.
Berkaitan surat dakwaan yang tidak menyebutkan ketentuan pasal 2 ayat 2, menurut JPU, frasa keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 2 adalah pemberatan pidana dan bukan unsur perbuatan sebagaimana diuraikan secara tegas dalam penjelasan Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001, yaitu dimaksud dalam keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan alasan pemberatan pidana dalam tipikor.
Dalam penjelasan UU Nomor 20 Tahun 2001 juga dinyatakan dalam rangka untuk mencapai tujuan efektif untuk mencegah dan memberantas tipikor UU ini memuat ketentuan pidana dengan sebelumnya yaitu ancaman pidana minimum khusus, pidana denda tinggi dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberat pidana. Dengan demikian, tidak dicantumkannya Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana perubahan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor seharusnya tidak dijadikan penghalang untuk dapat menerapkan pidana mati sebagai pemberatan pidana karena perbuatan terdakwa telah cukup sebagai keadaan-keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 2 tersebut
Heru Hidayat Sebut Tuntutan Mati Zalim
Sementara itu, Heru Hidayat menilai tuntutan mati kepadanya adalah tindakan zalim dan abuse of power. Heru menilai tuntutan jaksa ini di luar koridor hukum.
"Jelas tuntutan mati yang dibacakan jaksa minggu lalu adalah suatu bentuk abuse of power yang sangat zalim. Kewenangan menuntut yang dimiliki oleh jaksa malah digunakan dengan menyimpang dari koridor hukum," kata Heru Hidayat dalam surat pembelaan pribadinya yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakpus, Senin (13/12).
Pakar Hukum Minta Cermat
Sementara itu, pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Djoko Sukisno menyatakan hukuman mati dibolehkan menurut Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Namun para hakim/aparat penegak hukum harus mencermati pula penjelasannya.
"Sebagaimana telah diketahui bahwa hukuman mati koruptor telah diatur pada Pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hukuman tersebut menjadi bagian dari Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara. Namun perlu kehati-hatian dalam memaknai Pasal 2 ayat (2) undang-undang tersebut yang berbunyi 'Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan'. Karena harus pula dicermati bagian penjelasan atas ayat tersebut," kata Djoko kepada wartawan, Selasa (7/12/2021).
Lebih jauh Djoko menjelaskan bahwa sebagaimana penjelasannya, yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Menurutnya, pada kalimat yang menyebutkan kata 'pengulangan' diawali dengan tanda baca koma. Maka anak kalimat tersebut dapat dimaknai berdiri sendiri dan tidak terkait dengan anak kalimat sebelum dan sesudahnya.
"Oleh karena itu, kalimat tersebut dapat berarti seseorang yang sudah pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana korupsi kemudian setelah keluar dia melakukan tindak pidana korupsi lagi. Sehingga orang tersebut layak dituntut hukuman mati karena dianggap tidak jera atas hukuman yang pernah dijatuhkan padanya," ucap Djoko.
Terkait dengan wacana hukuman mati bagi para terdakwa Jiwasraya dan ASABRI, maka perlu juga dicermati sekali lagi apakah di antara mereka ada yang residivis atau orang yang pernah dihukum dan melakukan tindak pidana yang sama.
"Lalu bagaimana dengan tempus delicti-nya, apakah negara dalam kondisi bencana alam atau dalam keadaan krisis moneter. Ingat, tempus delicti adalah waktu terjadinya suatu delik atau tindak pidana bukan waktu persidangannya," ungkap Djoko.
Di sisi lain pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho mendukung tuntutan mati ke Heru Hidayat. Namun dia menyerahkan urusan pidana itu nantinya ke pengadilan.
"Suatu upaya yang perlu diacungi jempol. Sebab, secara teori, kejahatan yang dilakukan memang pantas dituntut pidana mati, sehingga kita tak ragu. Kejahatan ekstra harus dilakukan dengan penindakan ekstra. Sekarang tinggal pengadilan, hakim selaras tidak dengan langkah Kejagung?" kata Hibnu.
Bagaimana nantinya majelis hakim menyampaikan putusan serta pertimbangannya? Kita nantikan saja jalannya persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
(dhn/fjp)