Komisi III DPR secara tegas mendukung hukuman mati dan meminta Komnas HAM menerima fakta hukum atas hukuman mati itu. Hal itu disampaikan dalam rapat kerja dengan Komnas HAM di kompleks DPR Senayan.
"Jadi Bambang Pacul setuju hukuman mati? 100% setuju, begitu, sampean saja menutup itu, dan ini coba di sini saya baca bos, dan tugas Anda juga saya baca, ada di Pasal 1, ini di Pasal 1 huruf 7," kata Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/1/2023).
Dalam rapat tersebut sejumlah anggota DPR mengkritisi pernyataan Komnas HAM yang menolak tuntutan mati pada terdakwa Herry Wirawan, terdakwa kasus pemerkosaan 13 santri di Bandung, Jawa Barat. Anggota Komisi III DPR RI lainnya, Fraksi Gerindra, Habiburokhman, juga menyayangkan sikap Komnas HAM tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya melihat bukan persoalan setuju- nggak setuju Komnas HAM, tapi seolah Komnas HAM membabi buta ketika merespons kasus hukuman mati. Kalau kasus Herry Wiryawan saya secara umum menolak hukuman mati, tapi untuk predator seksual, apalagi terhadap anak, ya, saya setuju orangnya ditembak kepalanya," kata Waketum Gerindra itu.
Perdebatan hukuman mati di Indonesia pernah ramai dan berpuncak ke MK. Yaitu pada 2007, MK pernah mengadili soal hukuman mati yang diajukan oleh Rani Andriani, Andrew Chan dn Myuran Sukumaran.
Dalam putusan Rani, MK menyatakan hukuman mati dalam kasus narkoba tidak melanggar nilai-nilai moral. Adapun Andrew dan Myuran, MK tidak menerima permohonan karena keduanya bukan WNI sehingga tidak bisa menggugat ke MK.
"Ancaman pidana mati yang dimuat dalam pasal-pasal pidana UU Narkotika juga diberikan ancaman hukuman pidana minimal khusus," demikian bunyi pertimbangan MK tersebut.
Artinya, dalam menjatuhkan hukuman pada pelaku pelanggaran pasal-pasal narkotika golongan I tersebut, hakim berdasarkan alat bukti yang ada dan keyakinannya dapat menghukum pelakunya dengan ancaman maksimalnya yaitu pidana mati. Sebaliknya, kalau hakim berkeyakinan bahwa sesuai dengan bukti yang ada, unsur sengaja dan tidak sengaja, pelakunya di bawah umur, pelakunya perempuan yang sedang hamil, dan sebagainya, sehingga tidak ada alasan untuk menjatuhkan hukuman maksimum, maka kepada pelakunya (walaupun menyangkut Narkotika Golongan I) dapat pula tidak dijatuhi pidana mati.
"Dengan demikian, jelaslah bahwa pemberlakuan pidana mati dalam kasus kejahatan narkotika tidaklah boleh secara sewenang-wenang diterapkan oleh hakim dan ini sesuai dengan ketentuan dalam ICCPR," beber MK.
Menurut MK, secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 sejalan dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi:
"In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society."
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan juga anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) secara moral perlu memperhatikan isi Deklarasi Cairo Mengenai Hak-hak Asasi Islami yang diselenggarakan oleh OKI yang dalam Pasal 8 huruf a deklarasi tersebut menyatakan:
Kehidupan adalah berkah Tuhan dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap umat manusia. Adalah tugas dari individu, masyarakat dan negara-negara untuk melindungi hak-hak ini dari setiap pelanggaran apa pun, dan dilarang untuk mencabut kehidupan kecuali berdasarkan syariat".
"Sehingga, menurut pandangan negara-negara anggota OKI, pencabutan hak untuk hidup yang tidak didasarkan atas hukum yang bersumber dari syariat itulah yang dilarang," tegas MK.
Bukti lain yang menunjukkan ketidakmutlakan hak untuk hidup (right to life), papar MK, baik yang berwujud ketentuan-ketentuan yang membolehkan diberlakukannya pidana mati dengan pembatasan-pembatasan tertentu ataupun ketentuan-ketentuan tentang penghilangan nyawa secara absah, dapat ditemukan dalam sejumlah instrumen hukum internasional yang mengatur tentang atau berkait dengan hak asasi manusia. Di antaranya:
1. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
2. Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict
3. Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict
4. Rome Statute of International Criminal Court
5. Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights)
6. American Convention on Human Rights
7. Protocol No. 6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of the Death Penalty.
ICCPR, Pasal 6 ayat (2) menyatakan:
"In countries which have not abolished death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment of Crime of Genocide.This penalty can only be carried out pursuant to a final judgement rendered by a competent court".
Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict, yang populer disebut Protokol I Pasal 76 ayat (3) menyatakan:
"To the maximum extent feasible, the Parties to the conflict shall endeavour to avoid the pronouncement of the death penalty on pregnant women or mothers having dependent infants, for an offence related to the armed conflict. The death penalty for such offences shall not be executed on such women";
Sementara itu dalam Pasal 77 ayat (5) dari instrumen yang sama dikatakan:
The death penalty of an offence related to the armed conflict shall not be executed on persons who had not attained the age of eighteen years at the time the offence was committed
Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict, yang populer disebut Protokol II, Pasal 6 ayat (4) menyatakan:
"The death penalty shall not be pronounced on persons who were under the age of eighteen years at the time of the offence and shall not carried out on pregnant women or mothers of young children";
Rome Statute of International Criminal Court, Pasal 80 ditegaskan:
"Nothing in this Part of the Statute affects the application by States of penalties prescribed by their national law, nor the law of States which do not provide for penalties prescribed in this Part".
"Dengan ketentuan ini berarti, Rome Statute tidak melarang jika hukum nasional negara-negara peserta Statuta ini memberlakukan pidana mati," simpul MK.