Ade Puspitasari tidak terima ayahnya yang juga Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi alias Pepen disebut KPK terjerat dalam operasi tangkap tangan atau OTT). Anak kandung Pepen yang juga Ketua DPD Golkar Kota Bekasi itu mengklaim ayahnya tidak sedang menerima uang saat dijemput KPK di kediamannya.
Bahkan, Ade menuduh penegakan hukum yang dilakukan KPK itu sengaja untuk membunuh karakter Pepen. Sampai-sampai Ade menyebut bila OTT itu memang dilakukan untuk mengincar 'kuning'. Benarkah?
Pembelaan Ade itu disampaikan dalam agenda pelantikan Pengurus Kecamatan Partai Golkar Se-Kota Bekasi di Graha Girsang Jatiasih, Bekasi Selatan, Sabtu (8/1/2021). Potongan video agenda ini beredar di media sosial (medsos).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di hadapan kader Golkar Kota Bekasi, Ade menyebut tidak ada uang sepeser pun yang dibawa KPK saat melakukan penangkapan terhadap ayahnya. Dia menilai penangkapan ini adalah upaya menjatuhkan nama baik ayahnya.
"Saksinya banyak, stafnya yang di rumah itu saksi semua. Bagaimana Pak Wali dijemput di rumah, bagaimana Pak Wali hanya membawa badan. KPK hanya membawa badan Pak Wali, tidak membawa uang sepeser pun," katanya.
"Logikanya, OTT, saya ada transaksi, 'Bang saya serahkan (uang)'. Saya ke-gap, benar nggak? Ini tidak ada, bahwa Pak Wali (Pepen) beserta KPK tidak membawa uang dari pendopo. Uang yang ada di KPK itu uang yang di luaran dari pihak ketiga, dari kepala dinas, dari camat, itu pengembangan, tidak ada OTT, memang ini pembunuhan karakter," ujar Ade.
![]() |
Selain itu, Ade menilai penangkapan ayahnya oleh KPK bermuatan politis. Menurutnya, Partai Golkar sedang diincar, tanpa menyebut gamblang siapa pihak yang dia maksud mengincar partai berwarna kuning ini.
"Memang ini kuning sedang diincar. Kita tahu sama tahu siapa yang mengincar kuning. Tapi nanti di 2024, jika kuning koalisi dengan oranye, matilah yang warna lain," ujar Ade disambut tepuk tangan para kader.
Saat dimintai konfirmasi detikcom, Ade Puspitasari membenarkan adanya peristiwa tersebut. Dia mengatakan pernyataannya itu adalah bentuk motivasi untuk membangkitkan semangat kader Golkar Kota Bekasi.
"Bahwa yang saya sampaikan adalah motivasi dan suplementasi kepada kader agar tidak terusik oleh bisingnya gerakan destruktif terhadap kader Golkar Kota Bekasi," kata Ade saat dihubungi detikcom.
Namun KPK menepis narasi yang coba dibangun Ade tersebut. Bagaimana penjelasan KPK soal OTT Wali Kota Bekasi itu?
Simak Video 'Reaksi KPK soal Putri Rahmat Effendi Tak Terima Ayahnya Kena OTT':
Pepen dijaring KPK dalam OTT pada Rabu, 5 Januari 2022. Ini merupakan OTT perdana KPK untuk tahun ini.
Dalam konferensi pers pengumuman tersangka, Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan bila sebenarnya total ada 14 orang yang dibawa ke Gedung Merah Putih saat itu tetapi belakangan setelah para pihak itu diperiksa intensif maka KPK memutuskan 9 orang di antaranya sebagai tersangka termasuk Pepen.
![]() |
Berikut rinciannya:
Sebagai pemberi:
1. Ali Amril (AA) sebagai Direktur PT ME (MAM Energindo);
2. Lai Bui Min alias Anen (LBM) sebagai swasta;
3. Suryadi (SY) sebagai Direktur PT KBR (Kota Bintang Rayatri) dan PT HS (Hanaveri Sentosa); dan
4. Makhfud Saifudin (MS) sebagai Camat Rawalumbu.
Sebagai penerima:
5. Rahmat Effendi (RE) sebagai Wali Kota Bekasi;
6. M Bunyamin (MB) sebagai Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Bekasi;
7. Mulyadi alias Bayong (MY) sebagai Lurah Jatisari;
8. Wahyudin (WY) sebagai Camat Jatisampurna; dan
9. Jumhana Lutfi (JL) sebagai Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan Kota Bekasi.
Firli Bahuri menjelaskan awal mula OTT itu yang disebutnya dari informasi yang didapat dari masyarakat. Disebutkan awalnya Pemkot Bekasi menetapkan APBD-P Tahun 2021 untuk belanja modal ganti rugi tanah dengan nilai total anggaran sekitar Rp 286,5 miliar. Anggaran itu digunakan sebagai berikut:
1. Pembebasan lahan sekolah di wilayah Rawalumbu senilai Rp 21,8 miliar;
2. Pembebasan lahan Polder 202 senilai Rp 25,8 miliar;
3. Pembebasan lahan Polder Air Kranji senilai Rp 21,8 miliar; dan
4. Melanjutkan proyek pembangunan gedung teknis bersama senilai Rp 15 miliar.
"Atas proyek-proyek tersebut, tersangka RE (Rahmat Effendi) selaku Wali Kota Bekasi periode 2018-2022 diduga menetapkan lokasi pada tanah milik swasta dan intervensi dengan memilih langsung para pihak swasta yang lahannya akan digunakan untuk proyek pengadaan dimaksud serta meminta untuk tidak memutus kontrak pekerjaan," ucap Firli.
"Sebagai bentuk komitmen, tersangka RE diduga meminta sejumlah uang kepada pihak yang lahannya diganti rugi oleh Pemerintah Kota Bekasi, di antaranya dengan menggunakan sebutan untuk 'Sumbangan Masjid'," imbuhnya.
Firli menyebut Pepen menerima uang melalui orang kepercayaannya yaitu Jumhana Lutfi (JL) sebagai Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kota Bekasi dan Wahyudin (WY) sebagai Camat Jatisampurna. Total ada lebih dari 7 miliar diterima Pepen melalui 2 orang itu dari pihak swasta.
"Selanjutnya pihak-pihak tersebut menyerahkan sejumlah uang melalui perantara orang-orang kepercayaannya yaitu JL yang menerima uang sejumlah Rp 4 miliar dari LBM (Lai Bui Min), WY (Wahyudin) yang menerima uang sejumlah Rp 3 miliar dari MS (Makhfud Saifudin) dan mengatasnamakan sumbangan ke salah satu masjid yang berada di bawah yayasan milik keluarga RE sejumlah Rp 100 juta dari SY (Suryadi)," ucap Firli.
Selain itu Pepen juga diduga menerima sejumlah uang dari beberapa pegawai Pemkot Bekasi sebagai pemotongan terkait posisi jabatan. Uang tersebut diduga dipergunakan untuk operasional Pepen. Namun rincian mengenai penerimaan uang terkait posisi jabatan itu belum disebutkan detail oleh KPK.
Singkatnya Pepen dkk dijerat KPK dengan pasal mengenai suap, gratifikasi, hingga pungutan liar. Detailnya bisa dicek di tautan di bawah ini:
Lantas bagaimana dengan tudingan bila OTT Pepen bermuatan politis serta tidak dalam keadaan menerima uang suap?
Firli Bahuri selaku Ketua KPK memberikan penegasan bila penegakan hukum di KPK tidak berdasarkan asumsi. Dia menjamin lembaga anti rasuah itu terlibat dalam praktik politik.
"Kami juga ingin memberikan pemahaman bahwa seseorang menjadi tersangka bukan karena ditetapkan oleh KPK, bukan asumsi, bukan juga berdasarkan opini atau kepentingan politik. KPK tidak ikut opini atau kepentingan politik karena KPK tidak ingin dan tidak akan terlibat dalam politik," ujar Ketua KPK Firli Bahuri kepada wartawan, Minggu (9/1/2022).
"KPK adalah lembaga negara dalam rumpun eksekutif yang independen dan dalam pelaksanaan tugas kewenangannya tidak terpengaruh pada kekuasaan mana pun," imbuh Firli.
Firli mengatakan penetapan Pepen sebagai tersangka korupsi telah memenuhi bukti permulaan. Dia menegaskan KPK tidak akan pandang bulu dalam memberantas korupsi.
![]() |
"Mohon untuk dipahami juga bahwa sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang, tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya dan atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan cukup patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. KPK tidak akan pernah pandang bulu karena itu prinsip kerja KPK," tutur Firli.
Hal senada disampaikan Plt Jubir KPK Ali Fikri yang mengatakan OTT yang dilakukan KPK terhadap Pepen sudah sesuai dengan prosedur. Sebab, dalam OTT tersebut sudah dilengkapi sejumlah bukti yang jelas.
"KPK juga melakukan dokumentasi secara detail, baik foto maupun video, dalam proses tangkap tangan tersebut yang begitu jelas dan sangat terang bahwa pihak-pihak yang terjaring dalam OTT beserta dengan barang buktinya," ujar Plt Jubir KPK Ali Fikri kepada wartawan, Sabtu (8/1/2022).
KPK Wanti-wanti Ucapan Ade
Tuduhan Ade terkait OTT KPK itu pun direspons KPK. Ali meminta Ade jangan membuat gaduh lewat asumsi yang keliru.
"Ujaran kontraproduktif seperti itu hanya akan memicu kesalahpahaman publik dan membuat gaduh proses penegakan hukum yang telah taat asas," tegas Ali Fikri.
Secara terpisah Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menilai pernyataan Ade merupakan hal yang wajar. Dia berkata anggapan Ade terkait OTT KPK terhadap ayahnya merupakan bentuk upaya pembelaan.
"Sebagai putri, bagaimanapun, tentu akan membela. Hal itu biasa dan sebaliknya akan mengejutkan kalau tidak membela. Termasuk mengkaitkan dan menyeret-nyeret persoalan hukum yang sedang KPK jalankan ke ranah politik. Hal itu sebagai bagian dari upaya pembelaannya," ucapnya.
Di sisi lain tercatat dalam sejarah bila OTT KPK memang tidak melulu menjaring orang dalam keadaan sedang menerima uang yang diduga suap. Lantas apakah hal itu jadi masalah?
Sejauh ini bukti yang dipaparkan KPK dalam pengadilan diamini dan para pihak yang dijerat itu divonis bersalah. Contohnya?
Peristiwa paling segar yaitu terkait OTT Nurdin Abdullah sewaktu aktif sebagai Gubernur Sulsel. OTT yang menjaring Nurdin itu terjadi pada 26 Februari 2021.
Lantas pada Sabtu, 27 Februari 2021, juru bicara Gubernur Sulsel bernama Veronica Moniaga menepis bila Nurdin Abdullah terjaring OTT KPK. Dia mengatakan bila Nurdin Abdullah dijemput tim KPK saat sedang beristirahat di rumah jabatan.
"Mengenai informasi yang beredar di media bahwa Bapak Gubernur Nurdin Abdullah terkena operasi tangkap tangan, itu tidak benar, karena Bapak saat itu sedang istirahat," ujar Vero dalam keterangannya kepada wartawan.
Menurut Vero, OTT merupakan operasi yang menangkap seseorang saat sedang melakukan tindak pidana. Sementara itu, saat dijemput KPK, Nurdin sedang berada di rumah jabatan.
"Bapak tidak sedang melakukan itu (tindak pidana saat ditangkap), Bapak Gubernur sedang beristirahat (di Rujab)," katanya.
"Keberangkatan Bapak ke luar kota itu untuk menyampaikan keterangan sebagai saksi. Selebihnya, mengenai informasi yang beredar bahwa apakah terlibat kasus A, kasus B, atau kasus apa pun, kami belum menerima informasi resmi, sehingga kami tidak bisa mengkonfirmasi kasus apa yang kemudian menjadi dasar dijemputnya Bapak untuk diminta keterangan. Penjemputan paksa pun tidak, karena beliau dengan kerelaan hati berangkat karena beliau adalah warga negara yang baik, dan siap untuk memberikan keterangan," imbuh Vero.
Setali tiga uang, Nurdin Abdullah setibanya di KPK pada hari Sabtu itu pukul 09.45 WIB turut mengatakan bila dirinya dijemput KPK di tengah tidurnya. Nurdin Abdullah juga mengaku tidak tahu-menahu perihal suap-menyuap yang disangkakan padanya.
![]() |
"Saya lagi tidur, dijemput (KPK)," kata Nurdin Abdullah kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (27/2/2021).
Proses hukum pun berlangsung hingga akhirnya pada 29 November 2021 Nurdin Abdullah menghadapi vonis. Apa hasilnya?
Nurdin Abdullah divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta atas kasus suap dan gratifikasi. Nurdin Abdullah dinyatakan terbukti menerima suap dan gratifikasi dari sejumlah kontraktor proyek di Sulsel.
Berkaca dari itu KPK selama ini memang menjerat seorang penyelenggara negara tidak serta merta pada saat menerima uang haram. Serangkaian OTT yang dilakukan KPK seringkali tidak berjalan mulus tetapi pada akhirnya penyelenggara negara yang dijerat tetap dinyatakan bersalah di mata pengadilan.
Mau contoh lain?
Jauh sebelumnya pada tahun 2013 KPK melakukan OTT pada Ahmad Fathanah. Kala itu Ahmad Fathanah diduga menjadi kurir suap untuk Luthfi Hasan Ishaaq.
Dari catatan detikcom saat itu Luthfi dan Fathanah bertemu sebelum uang dari PT Indoguna Utama sebesar Rp 1 miliar diserahkan ke Fathanah. Usai penyerahan uang, Fathanah juga terpantau KPK melapor ke Luthfi.
Berikut kronologinya:
Selasa (29/1/2013)
Pukul 12.30 WIB
Fathanah menemui Luthfi di Gedung Nusantara 3, Komplek gedung DPR. Diduga pertemuan itu untuk membahas uang yang disediakan PT Indoguna, perusahaan importir daging yang sudah beberapa kali menjadi rekanan Kementerian Pertanian (Kementan).
Belum jelas di ruangan mana mereka bertemu. Namun KPK memiliki bukti cukup kuat soal adanya pertemuan ini.
Pukul 15.00 WIB
Fathanah berpamitan dan meninggalkan komplek gedung DPR. Bersama sopirnya, dia menuju Jl Taruna 8, Pondok Bambu Jaktim, tempat PT Indoguna berada. Di situlah proses serah terima uang dilakukan.
Dua direktur PT Indoguna Utama yang sudah menjadi tersangka Arya Abdi Effendi, Juard Effendi, diduga bertemu dengan Fathanah dan menyerahkan uang Rp 1 miliar. Jumlah itu dikabarkan baru sekadar uang muka dari Rp 40 miliar yang dijanjikan.
Pukul 18.00 WIB
Usai menerima uang, Fathanah melapor ke Luthfi. KPK memegang bukti kuat adanya pelaporan ini.
Pelaporan itulah yang dijadikan salah satu dasar bagi KPK untuk menjerat Luthfi. Dalam pembicaraan disebutkan, Luthfi mengiyakan laporan dari Fathanah.
Pukul 20.00 WIB
Di luar dugaan, Fathanah rupanya tak langsung menyerahkan uang itu ke siapa pun. Dia membawa duit pecahan Rp 100 ribu itu ke hotel Le Meridian. Di sana, ada seorang wanita yang sedang menunggunya.
Akhirnya, di hotel mewah itulah, Fathanah dan mahasiswi itu akhirnya ditangkap dan uang Rp 1 miliar yang berada di jok mobil disita.
Dalam perkara ini pada akhirnya Fathanah dan Luthfi dinyatakan bersalah. Fathanah divonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, sedangkan vonis Luthfi di tingkat kasasi yaitu 18 tahun penjara.
Bahkan dalam rangkaian OTT KPK lainnya ada pula penyelenggara negara yang saat kejadian tidak ditangkap langsung karena alasan kemanusiaan tetapi malah menggelar jumpa pers dengan klaim tidak kena OTT. Siapa dia?
Kala itu April 2018 tim KPK bergerak ke Kabupaten Bandung Barat. Tim KPK melaksanakan OTT di wilayah itu.
Dalam rangkaian OTT itu sejatinya KPK sudah menemukan targetnya yaitu Abubakar selaku Bupati Bandung Barat. Namun Abubakar tidak ikut dibawa ke KPK dengan pertimbangan kemanusiaan.
Kabiro Humas KPK saat itu Febri Diansyah mengatakan tim KPK sengaja tidak membawa serta Bupati Bandung Barat Abubakar ke Jakarta dalam OTT. Namun, tim KPK disebut Febri sempat melakukan pemeriksaan awal pada Abubakar.
Peristiwa itu terjadi pada Selasa, 10 April 2018. Namun Abubakar malah menggelar konferensi pers dengan mengaku tidak ditangkap KPK.
"Tadi laporan dari ajudan, ada tamu. Saya terima, mereka memperkenalkan dari KPK. Intinya, minta keterangan bahwa banyak isu masuk KPK. Melakukan penggalangan dana untuk keperluan saya berobat dan konteks Ibu sedang pencalonan," kata Abubakar saat memberi keterangan pers di kediamannya, Jalan Mutiara I, Kabupaten Bandung Barat, Selasa (10/4/2018) malam.
Dia kemudian menjelaskan terkait isu tersebut kepada petugas KPK tersebut. Intinya, dia membantah perihal isu tersebut. Selama ini, menurutnya, biaya pengobatan dan uang politik istrinya murni dari kocek pribadi.
"Saya sudah cukup bekal untuk berobat saya dan untuk pencalonan Ibu," ucapnya.
Dia juga tidak mempermasalahkan saat petugas KPK meminta keterangannya itu dituangkan dalam BAP. "(Mereka) kemudian (minta) apakah boleh keterangan ini dituangkan dalam BAP, saya baca sesuai (dengan keterangan saya), tidak jadi masalah," ujarnya.
Abubakar menambahkan, Rabu (11/4/2018) besok dia akan menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Borromeus. Hal itu mempertegas dirinya tidak ditangkap KPK.
"Besok kebetulan saya lakukan pemeriksaan kesehatan melakukan kemoterapi," kata Abubakar.
Wakil Ketua KPK saat itu Saut Situmorang pun memberikan penjelasan. Saut menyinggung pula perihal konferensi pers yang digelar Abubakar.
"Yang bersangkutan memohon untuk tidak diamankan karena harus melakukan kemoterapi dan dalam kondisi tidak fit," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (11/4/2018).
"Namun yang bersangkutan malah membuat konferensi pers dan menyebut KPK hanya mengklarifikasi isu tertentu," imbuh Saut.
Pada akhirnya Abubakar dijemput KPK selesai menjalani kemoterapi. Proses hukumnya berlangsung hingga vonis 5,5 tahun penjara untuknya.
Selain itu ada pula cerita OTT ketika penyelenggara negara tidak terjaring langsung tetapi ditetapkan sebagai tersangka. Seperti apa ceritanya?
Peristiwa OTT di Kementerian Sosial (Kemensos) beberapa waktu lalu bisa menjadi contoh. OTT yang terjadi pada Desember 2020 itu bahkan tidak langsung menjerat Juliari Batubara sebagai Menteri Sosial (Mensos) kala itu.
Bahkan saat proses OTT berlangsung dan KPK belum mengumumkan siapa saja yang menjadi tersangka, Juliari sempat memberikan komentarnya. Kala itu Juliari berbicara demikian.
"Kita masih memonitor perkembangannya," kata Juliari kepada detikcom, Sabtu (5/12/2020).
Namun pada akhirnya KPK menetapkan total 5 tersangka dalam perkara suap terkait bantuan sosial (bansos) penanganan COVID-19 itu, yaitu antara lain:
Diduga sebagai penerima:
1. Juliari Batubara (JPB) selaku Mensos
2. Matheus Joko Santoso (MJS) selaku pejabat pembuat komitmen di Kemensos
3. Adi Wahyono (AW)
Diduga sebagai pemberi:
1. Ardian IM (AIM) selaku swasta
2. Harry Sidabuke (HS) selaku swasta
Begini kronologinya seperti disampaikan Firli Bahuri selaku Ketua KPK dalam konferensi pers pada Minggu, 6 Desember 2020:
Jumat (4/12/2020)
Firli menjelaskan pada Jumat (4/12) tim KPK menerima informasi dari masyarakat adanya dugaan terjadinya penerimaan sejumlah uang oleh penyelenggara negara yang diberikan oleh AIM dan HS kepada MJS, AW, dan JPB. Sedangkan khusus untuk JPB, pemberian uangnya melalui MJS dan SN (orang kepercayaan JPB).
Sabtu (5/12) pukul 02.00 WIB
Firli menyebut penyerahan uang dilakukan pada Sabtu (5/12) dini hari di salah satu tempat di Jakarta. Uang sebelumnya telah disiapkan AIM dan HS di salah satu apartemen di Jakarta dan Bandung.
Uang tersebut disimpan di dalam 7 koper, 3 tas ransel, dan amplop kecil yang jumlahnya sekitar Rp 14,5 miliar. Tim KPK kemudian langsung mengamankan MJS, SN, dan pihak-pihak lain di beberapa tempat di Jakarta untuk selanjutnya pihak-pihak yang diamankan beserta uang dengan jumlah sekitar Rp 14,5 miliar dibawa ke KPK untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Firli mengatakan, dari hasil tangkap tangan ini, ditemukan uang dengan pecahan mata uang rupiah dan mata uang asing, masing-masing sejumlah sekitar Rp 11,9 miliar, USD 171,085 (setara Rp 2,420 M), dan SGD 23.000 (setara Rp 243 juta).
Minggu (6/12/2020) pukul 01.03 WIB
Sekitar pukul 01.03 WIB, Minggu dini hari tadi, Firli mengumumkan tersangka kasus suap ini dan hanya 3 orang yang dihadirkan. Dua tersangka lainnya masih diburu. Mereka adalah Juliari Batubara dan AW.
"KPK terus berusaha sampai detik-detik ini melakukan pencarian kepada para tersangka yang belum berada di KPK. Karenanya, KPK memerintahkan kepada kita semua untuk segera untuk kita lakukan pencarian terhadap para tersangka, dan kami imbau, kami minta kepada para tersangka saudara JPB dan AW untuk kooperatif dan segera mungkin menyerahkan diri ke KPK," kata Firli di Gedung Merah Putih KPK.
Minggu (6/12) pukul 02.50 WIB
Kurang dari dua jam ditetapkan sebagai tersangka, Mensos Juliari Batubara menyerahkan diri ke KPK. Juliari tiba di KPK.
"Tersangka JBP menyerahkan diri ke KPK hari Minggu tanggal 6 Desember 2020 sekitar jam 02.50 WIB dini hari," kata juru bicara KPK, Ali Fikri, saat dihubungi pada Minggu (6/12) pagi.
Singkatnya kemudian Juliari divonis bersalah. Dia divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Juliari dinyatakan bersalah menerima uang suap Rp 32,482 miliar berkaitan dengan bansos Corona di Kemensos.
Berdasarkan catatan detikcom, 100 persen orang yang terjaring OTT KPK berakhir di bui. Tak satu pun yang dibebaskan pengadilan. Namun ada beberapa perkara dari pengembangan OTT KPK yang kandas meski pada akhirnya berlanjut di tingkat banding atau kasasi.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri pun mengafirmasi perihal 100 persen OTT KPK terbukti di sidang. Ali menyebut total ada 141 OTT sepanjang KPK berdiri.
"Pasca kegiatan tangkap tangan KPK di Kota Bekasi pada 5 Januari 2022, telah memunculkan beragam persepsi dan opini publik. Sebagian besar masyarakat mendukung langkah sigap KPK ini sebagai bentuk ikhtiar pemberantasan korupsi yang tanpa pandang bulu. Di lain sisi, masih saja ada pihak-pihak yang mencoba menggiring opini kontraproduktif dalam proses penegakkan hukum yang tengah dilakukan KPK," kata Ali.
"Kami khawatir, narasi yang bertolak belakang dengan fakta-fakta hukum di lapangan, justru akan mengkorupsi hak publik untuk mengetahui Informasi yang sebenarnya," imbuhnya.
Ali memastikan kegiatan OTT tidak dilakukan tebang pilih. Dia mengatakan OTT tetap menghormati hak asasi manusia.
"Jika kita merujuk pada data dan fakta, selama KPK berdiri telah melakukan 141 kali OTT, yang 100% terbukti di persidangan. Oleh karenanya, KPK sekali lagi mengajak seluruh pihak untuk terus optimis dan saling bahu-membahu dalam ikhtiar baik kita bersama mewujudkan Indonesia yang maju, makmur, sejahtera, bebas dari korupsi," ucap Ali.