Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia menilai keadaan darurat kekerasan seksual di Tanah Air. PPI Dunia memandang perlu adanya harmonisasi pengaturan untuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk di dalamnya kekerasan seksual.
"Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia diramaikan dengan peningkatan kurva tindak kekerasan dan kejahatan seksual di tengah pandemi yang belum juga usai. Perempuan dan anak di bawah umur menjadi kelompok yang paling rentan sebagai korban kekerasan seksual. Berdasarkan Catatan Tahun (CATAHU) 2020 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), ada 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020. Inilah salah satu yang mendasari PPI Dunia menyikapi darurat kekerasan seksual di tanah air," ujar Koordinator PPI Dunia Faruq Ibnul Haqi dalam keterangannya, Selasa (4/1/2022).
PPI Dunia memandang kejadian kekerasan seksual sudah lebih dari cukup untuk meningkatkan kesadaran publik, khususnya untuk lebih menyadari bahwa isu kekerasan seksual di Indonesia sudah bukan isu ringan. Direktur Direktorat Penelitian dan Kajian (Ditlitka) PPI Dunia, Aswin Rangkuti, Ketua Tim Ad Hoc Darurat Kekerasan Seksual, Muhammad Ammar, dan anggota tim melakukan kajian akademis intensif pada 14-28 Desember 2021.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hak bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan dinilai merupakan hak yang sangat krusial bagi siapapun termasuk kelompok rentan, perempuan dan anak. Keterbatasan payung hukum yang melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seksual dinilai sangat memprihatinkan.
"KUHP yang sangat 'terbatas' mengatur tentang kekerasan seksual telah menyebabkan banyak kasus kekerasan seksual yang belum dapat diproses secara hukum dengan cepat dan tepat. Berbagai data menunjukkan banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang sulit diproses dan terjadi terus berulang karena system hukum negara Indonesia belum mengenal persoalan kekerasan seksual," kata Faruq.
RUU TPKS dinilai dinantikan oleh banyak masyarakat untuk memberikan perlindungan dan memadai dari ancaman kekerasan seksual. Dalam kajian akademis PPI Dunia, ada empat pokok bahasan yang dikaji, di antaranya adalah dampak buruk kekerasan seksual, kerangka hukum internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur penghapusan kekerasan seksual, polemik RUU TPKS dan Permendikbud-ristek PPKS, dan partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual serta perlindungan dan pemulihan korban dan penyintas kekerasan seksual.
Hal senada juga diungkapkan Wakil Direktur Litka PPI Dunia, Radityo Pangestu. Menurutnya, RUU TPKS dan Permendikbud-ristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi adalah terobosan untuk mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan korban kekerasan seksual sehingga tindak pidana kekerasan seksual dapat diproses secara adil.
Selain kajian akademis tersebut, PPI Dunia juga mendesak seluruh perguruan tinggi di Indonesia untuk segera Pemendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 dengan membentuk satgas serta berpartisipasi aktif untuk mengawal dan mengadvokasikan penghapusan kekerasan seksual.
PPI Dunia mendesak pimpinan DPR RI sesegera mungkin membahas dan mengesahkan RUU TPKS sebagai payung hukum untuk memberikan rasa dan ruang aman terhadap korban kekerasan seksual dan seluruh masyarakat Indonesia.
"Dengan berbagai pertimbangan berdasarkan kajian akademik ini PPI Dunia mendorong dan mendesak DPR RI, DPD RI dan pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Kami PPI Dunia memandang bahwa RUU TPKS ini adalah suatu upaya perombakan system dan pembaruan hukum untuk mengatasi berbagai persoalan kekerasan seksual yang sistemik," ujar Faruq.
(rfs/jbr)