Jakarta -
Usul dari Gubernur Lemhanas, Agus Widjojo soal Polri berada di bawah Kementerian Keamanan Dalam Negeri dan Dewan Keamanan Nasional dinilai melawan demokrasi. Polri disebut akan terseret arus politik bila hal itu terjadi, karena menteri merupakan jabatan politik.
"Undang-undangnya sebenarnya bisa diganti (kalau ingin polisi di bawah kementerian). Tetapi ini melawan prinsip demokrasi," kata pengamat politik dan keamanan nasional, Hermawan Sulistyo kepada wartawan, Senin (3/1/2022).
Hermawan juga mengaku tak menyangka Agus mengusulkan ide tersebut. Karena, lanjut Hermawan, Agus dikenal sebagai sosok yang menjunjung demokrasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dan bagi saya aneh karena yang punya ide itu Gubernur Lemhanas yang selama ini dikenal sebagai champion demokrasi. Gubernur Lemhanas itu, kita semua mengenal sebagai champion demokrasi," ujar Hermawan.
"Lah kok ini punya pikiran yang menabrak demokrasi, jangan-jangan ini bagian dari kampanye Gubernur mau nyapres 2024?" sambung dia.
Hermawan mengatakan dirinya telah menulis buku untuk menjawab isu ini 10 tahun silam. Dia mengatakan saat itu isu yang sama juga pernah terlontarkan.
"Buku 'Polri dalam Arsitektur Negara' menjawab isu ini 10 tahun yang lalu. Jadi temanya sama, isunya sama, 10 tahun yang lalu saya bikin buku itu menjawab suara-suara yang mendorong ke arah penempatan Polri sebagai Ditjen di bawah Kemendagri," terang Hermawan.
"Kalau (Polri) berada dalam satu kementerian, menteri itu jabatan politik. Nah terus gimana wajah hukum di Indonesia kalau seperti itu?" sambung dia.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
Hermawan selanjutnya menerangkan polisi bersifat diskresional sehingga tak ada aturan baku yang menyamakan sistem kepolisian di seluruh dunia. Hermawan berujar polisi tak bersifat komando karena bukan lembaga militer.
"Kedua, di dalam nomenklatur polisi di seluruh dunia itu memang tidak ada aturan bakunya, karena sifatnya polisi itu diskresional, bukan komando. Kalau diskresional maka struktur jabatan, kewenangan dalam jabatan dan lain-lain itu juga tidak ada yang baku," sebut Hermawan.
"Jadi organisasi kepolisian di dunia ini tidak ada yang sama. Pangkatnya pun tidak ada yang sama karena ini bukan organisasi miiter yang sifatnya komando," lanjut Hermawan.
Ketidaksamaan sistem organisasi di kepolisian, jelas Hermawan, karena kebutuhan dan cara tiap negara terkait keamanan dan ketertiban masyarakatnya berbeda-beda. "Jadi kalau alasannya di Negara A, Negara B polisi di bawah kementerian, ya itu kebutuhan dari negara itu," tutur Hermawan.
Masih kata Hermawan, konsekuensi dari demokrasi adalah posisi kepolisian yang berada di dua kaki kekuasaan, yakni eksekutif dan yudikatif. Namun kaki eksekutif dalam hal ini adalah kepala negara, bukan kepala pemerintahan.
"Dari segi tata laksana pemerintahan, kita ini menganut prinsip demokrasi. Di dalam demokrasi ada pemilahan yang tegas antara cabang kekuasaan eksekutif dan cabang kekuasaan yudikatif. Polisi kita itu kita pastikan ada di dua kaki itu dan menginduk kepada Presiden selaku kepala negara, bukan kepala pemerintahan yang eksekutif," papar dia.
"Kalau Kepala negara punya kewenangan yudikatif yaitu grasi, amnesti misalnya. Kepala negara dalam hal fungsinya (Polri) sebagai penegak hukum. Di pemerintahan itu fungsinya hanya pelayanan publik. Nah ini penegak hukumnya mau dipreteli terus, yang urusi kejahatan-kejahatan lalu siapa?" pungkas Hermawan.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini