Hakim MK Saldi dan Suhartoyo: Presidential Threshold Rusak Daulat Rakyat

Andi Saputra - detikNews
Jumat, 17 Des 2021 14:48 WIB
Saldi Isra (Dok. detikcom)
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) pernah mengadili 13 gugatan terkait presidential threshold namun semuanya kandas. Kini sejumlah nama kembali menggugat ambang batas pencapresan (presidential threshold) agar menjadi 0% sehingga setiap parpol bisa mengusung calon presiden.

Kini sejumlah nama yang menggugat itu di antaranya Ferry Joko Yuliantono yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Ada juga mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan dua anggota DPD Fachrul Razi asal Aceh dan Bustami Zainudin asal Lampung. Pasal 222 yang diminta dihapus, yaitu:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Harapannya, bila Pasal 222 itu dihapus, semua parpol bisa mengusung capres.

Tapi selidik punya selidik, dari 13 putusan itu, terdapat 2 hakim konstitusi yang berpikiran sebaliknya. Yaitu hakim konstitusi Saldi Isra dan Suhartoyo. Pendapat itu tertuang dalam putusan Nomor 53/PUU-XV/2017. Duduk sebagai pemohon adalah Rhoma Irama selaku Ketum Partai Islam Damai Aman (Idaman).

Berikut ini pertimbangan keduanya yang dirangkum detikcom, Jumat (17/12/2021):

1. Membelokkan Teks Konstitusi

Mahkamah Konstitusi harusnya melakukan peran dan fungsi konstitusionalnya mengoreksi atau melakukan review terhadap substansi undang-undang sekalipun ketika perubahan UUD 1945 (1999-2002) muncul semangat untuk menyederhanakan partai politik demi menopang sistem pemerintahan presidensial. Terkait dengan semangat tersebut, Mahkamah Konstitusi seharusnya menempatkan atau lebih memberikan prioritas pada pemenuhan hak konstitusional (constitutional rights) dari partai politik peserta pemilu dibandingkan dengan pemenuhan atas penilaian bahwa desain konstitusi (constitutional design atau constitutional engineering) menghendaki penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu.

Secara tekstual, hak konstitusional partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden (dan wakil presiden) diatur secara eksplisit dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Berbeda dengan hak konstitusional partai politik peserta pemilu, pandangan terkait design penyederhanaan partai politik tidak diatur dan lebih berada dalam wilayah pemaknaan atau tafsir.

Saldi Isra (Ari Saputra/detikcom)

Padahal, dengan mendalami teori konstitusi, telah menjadi pengetahuan atau pemahaman umum, dalam hal teks konstitusi mengatur secara eksplisit atau tegas (expresis verbis) tertutup celah untuk menafsirkan secara berbeda dari teks yang ditulis konstitusi. Dalam hal ini, sebagai lembaga yang roh pembentukannya adalah menjaga dan sekaligus melindungi hak konstitusional warga negara (termasuk di dalamnya hak konstitusional partai politik peserta pemilu), bilamana pembentuk undang-undang membelokkan atau menggeser teks konstitusi adalah menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi untuk meluruskan dan sekaligus mengembalikannya kepada teks konstitusi sebagai mana mestinya.

Dengan demikian, sulit diterima penalaran yang wajar apabila Mahkamah Konstitusi lebih memilih untuk memberikan prioritas dan mendahulukan tafsir design penyederhanaan partai politik yang sama sekali tidak diatur dalam UUD 1945 dibandingkan dengan pemenuhan hak konstitusional partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan calon presiden (dan wakil presiden) yang diatur eksplisit dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Simak video '2 Anggota DPD Gugat Presidential Threshold 0 Persen ke MK':






(asp/dnu)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork